GIANYAR, Kilasbali.com – Setelah berproses dengan beberapa kali pertemuan secara marathon, Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pelestarian Seni dan Budaya kini sudah finalisasi.
Menariknya, selain perlindungan pada kelahiran kesenian “Uwedan”, kreativitas seni anak muda seperti ogoh-ogoh juga tercover dalam Ranperda Pertama di Bali ini.
Komitmen masyarakat Gianyar dalam melanggengkan kesenian dan kebudayaan kini semakin dipertegas dengan Ranperda tentang Pelestarian Seni dan Budaya. Ranperda inisiatif dewan ini pun sudah mencapai 75 persen dan tinggal selangkah lagi untuk ditetapkan dan diundangkan melalui sidang Paripurna DPRD Gianyar. Ini menandakan konsep pelestarian seni budaya di Gianyar arahnya semakin jelas dan regulatif.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda), I Nyoman Alit Sutarya, Selasa (3/5) mengungkapkan, proses pembentukan Ranperda ini memang membutuhkan masukan dari berbagai pihak untuk memastikan perda yang ditetapkan bernilai multifungsi.
Syukurnya, dari alokasi waktu setahun, dalam hitungan bulan sudah mencapai finalisasi. “Secara substansi sudah final, sekarang sedang proses harmonisasi dengan Kemenkum dalam teknis penyusunannya,” ungkapnya.
Diakuinya, sensitivitas Perda ini terbilang tinggi, karena itu pula keterlibatkan berbagai stockholder menjadi prioritasnya. Bahkan masukan dari Pakar Seni, Pakar kebudayaan, seniman dan budayawan sangat mewarnai dalam penyempurnaanya.
“Kita harap Perda ini nantinya efektif, berdaya guna, berhasil guna bagi aktivitas berkesenian di Gianyar,” harapnya.

Alit pun sangat mengapresiasi kontribusi para pakar dan seniman dalam pembahasan Ranperda ini. Sebagaimana Prof Bandem yang menekankan keselarasan dengan Perda Provinsi Bali serta penekanan kekhususan Bali di bidang kesenian dan Kebudayaan. Demikian pula Prof Dibia yang menekankan perlindungan identitas kesenian Uwedan.
Di mana kesenian yang lahir di Gianyar, kini menjadi abu-abu karena lebih eksis di daerah lain. Adapun harapan standarisasi honor seniman dalam pentas pariwisata yang cenderung tak sebanding dengan pekerja lainnya yang diharapkan oleh Seniman Made Sidia.
Perlindungan kesenian di daerah pelosok yang kerap terabaikan juga menjadi masukan oleh I Ketut Suanda “Cedil”. Serta berbagai masukan lainnya yang menjadi aspirasi murni dari para praktisi seni dan budaya.

Mengenai Ogoh-ogoh, tambah Alit Rama juga tercover sebagai kreativitas anak-anak muda yang dibina dan dilindungi pemerintah daerah. Tanpa mengusik kemandirian generasi muda dalam berkesenian, kehadiran pemerintah dipastikan ada secara regulasi.
“Dengan keberadaan Perda ini, proses pendaftaran HAKI terhadap kesenian juga diharapkan tak terkendala lagi,” pungkasnya. (ina/kb)