DENPASAR, Kilasbali.com – “Awalnya menekuni seni teater, tapi melihat kegiatan adat dalam agama jadi kami kepingin untuk dapat meyadnyakan kesenian kami,” ungkap I Dewa Gede Alit Saputra selaku pemimpin Sanggar Kayonan yang ditemui pada Rabu malam (3/7/2019) di belakang Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya, Denpasar.
Sanggar yang berdomisili di Klungkung ini mulanya khusus mempelajari dunia teater selama lima tahun awal berdirinya. Selepas itu, sanggar yang berdiri tahun 1992 ini mengambil jalan tak biasa dengan memasukkan calonarang sebagai salah satu materi ajar.
Dari penuturan I Dewa Gede Alit Saputra yang mengampu tugas selaku pemimpin sanggar bawasannya hal tersebut adalah jawaban dari sebuah tantangan. “Memang tidak spesialis calonarang tapi kami menerima tantangan itu,” jelas Alit.
Kali ini Alit pun mengungkapkan, Sanggar Kayonan akan menampilkan sebuah garapan drama tari calonarang bertajuk Wong Samar. Dalam perjalanannya, Sanggar Kayonan memang akrab dengan kesenian calonarang. “Untuk calonarang yang biasa sanggar ini sudah sering mementaskannya, sedangkan yang kolosal sudah terhitung tiga kali termasuk garapan hari ini,” ujarnya.
Berbeda dengan kisah Calonarang yang akrab dengan Walu Nateng Dirah dan Diah Ratna Manggali, Alit yang berperan sebagai sumber ide cerita mengangkat kearifan lokal Klungkung. Alit berusaha mengaitkan ide garapannya dengan pakem calonarang klasik.
Kisah calonarang ini menceritakan pembalasan dendam I Renggan yang gagal menghancurkan Bali. Kemudian, I Renggan yang menikah dengan Ni Mrahim memiliki anak bernama I Gotra yang menjadi sarana balas dendam I Renggan terhadap Hyang Putrananjaya. Hyang Putrananjaya yang menggagalkan usaha I Gotra dimasa lalu kemudian mengutus seorang pemuda ksatria.
Pemuda itu terlahir melalui padang kasna yang diberi nama Dalem Dukut, sebab Dukut bermakna padang atau rumput. Dengan senjata Ratna Kencana, Dalem Dukut yang diberi kesaktian utama, akhirnya berhasil mengalahkan I Renggan bersama Bala Wong Samarnya. Atas kemuliaan Dalem Dukut, I Gotra diberikan tempat payogan di Penataran Ped Nusa Penida dan I Gotra diganti namanya menjadi Jero Gede Mecaling.
Ketika waktu menunjukkan pukul 23.00 wita, kemunculan Alit di tengah panggung pun berujar dengan nada menantang, mengundang suasana mistis sekaligus decak kagum penonton. “Nyen melajahin pengleakan, pepes nyakitin semeton, iri hati, dini mangkin wenten bangke matah buktiang,” terang Alit menantang orang yang mempelajari pengleakan pangiwa (negatif).
Di atas panggung Ardha Candra, terdapat seorang yang menjadi bangke matah lengkap dengan sarana untuk mengantarkannya ke setra. Suasana hening menyelimuti Ardha Candra. Ribuan penonton terdiam hening. Menunggu apa yang akan terjadi.
Cukup lama juga Alit melontarkan tantangannya sembari menunggu. Tak ada yang terjadi. Kemudian bangke matah pun diarak ke setra berjalan keluar melalui pintu depan bawah di sela-sela penonton. Terus menuju barat kemudian membelok ke utara dan memasuki jalan utama menuju Padmasana dekat pintu keluar sebelah utara Taman Budaya, Denpasar. Perangkat untuk membawa bangke matah pun dipralina.
Pementasan ini melibatkan 100 orang penampil, garapan ini cukup menghibur para penonton yang betah duduk hingga menjelang jam 12 malam. Menurut Alit seni calonarang memang diminati dalam kurun waktu lima tahun terakhir, sehingga Alit pun lebih gencar untuk mencari anak muda Bali guna menekuni kesenian ini. (kb)