DENPASAR, Kilasbali.com – Adakah melihat tabuh Bali diiringi alat musik eropa? Ataukah melihat dua penari yang berbeda benua justru menari dalam satu panggung utama? Sekaa Qak Danjur melakukan itu semua. “Awalnya berpikir, bisa gak ya diterima disini?, tapi setelah penonton terbahak-bahak, saya jadi happy,” ungkap Made Agus Wardana sembari menyeka keringatnya.
Senin (24/6/2019), penampilan Genggong, Sekaa Qak Danjur, Br. Pegok, Kel. Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Duta Kota Denpasar membikin para pengunjung Art Centre penasaran. Sebab, di Kalangan Angsoka, telah berdiri empat tokoh wayang manusia “Marionette” di sebuah kotak hitam besar. Penampilan seni tersebut masih belum fasih di Bali.
Marionette sendiri merupakan dua penari yang menjalani satu peran. Selain itu, ada juga yang membuat pengunjung menjadi jenaka. Penampilan dua warga negara dari Belgia (Gabriel Laufer dan Ni Luh Maren Hasle) yang menari Bali serta bertutur Bahasa Bali berulang kali membuat penonton terbahak-bahak. Bahkan, banyak dari penonton yang mengabadikannya dalam handphone.
Penampilan yang sarat akan alkulturasi budaya, diakui Made Agus Wardana karena Sekaanya memang membawakan tiga materi utama, yakni Rekonstruksi, Rekoneksi, dan Re-inovasi.
“Rekonstruksi itu jadi membangkitkan lagu-lagu yang kuno kita pelajari, namun juga kita mengrekoneksi sesuatu yang telah ada kemudian kita menginovasikannya supaya tidak dijejali yang begitu begitu saja yang motonon,” tutur Penata Tari dan Tabuh dari Sekaa Qak Danjur itu.
Selain itu, Sekaa Qak Danjur juga membawakan fragmentari Komedi “Ampuan Angin” yang diiringi dengan Genggong dan Gamut (Gamelan Mulut). Fragmentari komedi ini mengisahkan sebuah cerita perjalanan budaya 4 orang bersaudara yang bernama Iciaaattt, Iciuuuttt, Icueeettt dan Nicuiiittt menuju negeri seberang (Gumin Anake) dalam menebarkan kesenian Bali di seluruh eropa. Di samping itu pula, ada penampilan keren Duo Made (Gabriel Laufer dan Made Wardana) serta alunan karya terbaru yaitu Gamut (Gamelan Mulut) yang diciptakan oleh Bli Ciaaattt di Kota Brussel Belgia tahun 2009.
Adapun mengangkat kesenian musik Genggong ialah terinspirasi dari Sang Kakek, yakni I Ketut Regen (Pekak Danjur), seorang pemuda asli Pegok Sesetan dengan kreativitas kesenian genggongnya sejak tahun 1930. Pekak Danjur lah yang mengawali adanya komunitas genggong yang terdirikan dari 4-8 orang. Namun seiring berjalannya waktu, Genggong Pegok perlahan meredup dan hilang selama puluhan tahun. Suatu kali terenyuh, Made Agus pun berusaha mengembalikan kesenian musik yang menurutnya hampir punah itu.
“Karena Pekak Danjur adalah kakek saya, yang keseniannya menurun ke ayah saya dan juga diri saya, maka saya ingin angkat ini agar setidaknya orang tahu cara memainkan,” ujar Made yang selama ini tinggal di Belgia. Pada pentas Genggongnya kali ini, ia menggunakan 8 buah musik genggong. “Sedangkan untuk latihan dari bulan desember,” tambahnya.
Pementasannya kali ini yang melibatkan warga negara asal Belgia merupakan buah hasil dari perjalanan panjang Made Agus dalam berkiprah menyebarkan kesenian Bali di Belgia. “Jadi, Gabriel Laufer adalah orang Belgia pertama yang menjadi murid gamelan saya, ketika itu memang saya bekerja di kedutaan besar Indonesia di belgia sejak 1996,” cerita Made.
Keberadaannya di Belgia tidak lepas dari keterlibatan Prof. Dr. I Made Bandem, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, yang kala itu mengirim Made untuk menjadi guru seni di sekolah musik di Belgia. Bahkan, Made pun mengajak para orang-orang Belgia untuk ngayah berkesenian di pura yang berada di Belgia. Kini, sepulangnya dari Belgia, Made langsung unjuk cara berkeseniannya yang sarat alkulturasi.
Ni Luh Maren Hasle, misalnya. Dara campuran Indonesia dan Norwegia ini menjadi sasaran Made untuk terlibat. “Disana ada perkumpulan Krama Bali Norwegia, jadi saya sering menari disana, karena memang saya suka menari Bali,” tutur Maren dengan logat campurannya.
Sembari mengisi waktu liburnya, Maren pun ikut berpartisipasi dalam pentas Genggong Qakdanjur. “Saya memang cinta Bali sekali, karena saya suka perdamaian dan berkumpul bersama,” ucapnya sembari memasang senyum.
Dengan wajah yang berseri, Made Agus pun menyampaikan harapannya, “saya pikir harapan saya hanya satu, untuk menjaga budaya kita terutama genggong ini.” (jus/kb)