DENPASAR, Kilasbali.com – Musisi Bali dan Jepang senantiasa rutin membuat garapan kolaborasi dalam setiap PKB, termasuk yang dilakoni Sanggar Kembang Waru dengan Grup Musik Tradisional Sanshin Shitamchi, saat pentas di Pesta Kesenian Bali, Kamis (20/6/2019).
Kalangan Ayodya Taman Budaya, Denpasar telah dipadati pengunjung sejak pukul 11.00 wita. Sebab, yang tampil adalah kolaborasi musik antara seniman Bali dan Jepang. Memadukan gamelan jenis semarapagulingan dengan petikan sanshin yang merupakan sejenis alat musik petik khas Jepang menjadi sebuah tantangan sekaligus pembelajaran bagi I Ketut Radita.
Radita yang merupakan penggarap sekaligus pemimpin Sanggar Kembang Waru berujar bahwa dirinya tak mendapatkan kesulitan khusus selama proses penggarapan. “Saya bisa berbahasa Jepang, jadi komunikasi pun lancar sehingga latihan pun lancar,” tutur Radita.
Setidaknya terdapat 18 buah lagu yang dipersembahkan. Kedelapan belas lagu tersebut diantaranya bertajuk Hanjobushi, Yutaka Bushi, Jyuku no Haru, Yazaki no Shirushi, Agaroza, Hamachidori, Tsukinukaisha, Katanaika, Kehitori Bushi, Kanayo, Agitikuten, Iyuhaitikuten, Asadoya Yunta, Shindensa, Danjyukariyushi, Yugagunke, dan Kachashi. Lagu-lagu tersebut bernuansa lembut, sebab petikan sanshin yang merupakan alat musik dengan jumlah tiga senar itu sangat cocok dikombinasikan dengan tabuh semarapagulingan yang menenangkan. Pada gamelan semara pagulingan didominasi oleh alat musik gender wayang yang dimainkan oleh anggota Sanggar Kembang Waru.
Salah satu anggota Sanggar Kembang Waru, yakni Yoko Ogawa, mengaku senang dapat terlibat dalam pentas kolaborasi ini. “Saya senang, jadi banyak belajar,” tutur Yoko yang merupakan orang Jepang tulen.
Belajar memainkan alat musik gender wayang telah dilakoni Yoko selama tiga tahun. “Saya diajak Pak Tut Radita dan teman saya pun ikut,” terang Yoko.
Keinginannya untuk mempelajari gamelan Bali sekaligus menetap di Bali membuat Yoko mengambil kuliah khusus mahasiswa asing di Universitas Udayana guna memperlancar kemampuannya berbahasa Indonesia. Dari pengamatan Yoko, orang Jepang yang masih tinggal di Jepang cukup banyak yang mempelajari budaya Bali khusunya tari dan gamelannya. Dengan belajar gamelan Bali, Yoko mengatakan bahwa dirinya dapat mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat.
Bagi I Ketut Radita, mengajari orang Jepang memainkan gamelan bukanlah hal yang sulit. “Orang jepang belajarnya semangat sekali dan orang Jepang itu cepat menangkap jadi gampang,” ungkap Radita.
Rata-rata dari pengakuan muridnya, Radita mengatakan bahwa orang Jepang sangat tertarik dengan gender wayang maupun rindik sebab alat musik ini minimalis dan tak butuh banyak pemain untuk memainkannya.
“Mereka itu praktis dan disiplin, jadi menyukai gender wayang salah satunya karena gampang dibawa dan tidak perlu menunggu lama-lama orang yang memainkannya, sebab yang terlibat hanya 2 atau 4 orang saja,” jelas Radita.
Sampai saat ini, Radita masih senatiasa membimbing tujuh murid yang berasal dari Jepang untuk lebih mendalami gamelan Bali. Sehingga melalui kesenian musiklah akan terjalin persahabatan yang semakin kuat antara Bali dan Jepang. (kb)