MANGUPURA, Kilasbali.com – Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Republik Indonesia (BKKBN RI), Hasto Wardoyo mengatakan, target penurunan prevalensi stunting secara nasional sebesar 14 persen hingga akhir tahun 2024.
Hal itu dikatakan Hasto Wardoyo di sela-sela menghadiri acara Pertemuan Penyelarasan Program Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) Tahun 2024, di Bedrock Hotel Kuta Bali, Rabu (21/2).
Dikatakan, angka prevalensi stunting di tahun 2022 sebesar 21,6 persen, sedangkan untuk hasil tahun 2023 belum keluar.
“Hasil 2023 belum keluar, masih menunggu (diumumkan, red) dari Pak Menteri Kesehatan. Untuk tahun 2022, prevalensi stunting 21,6 persen. Tapi angka tahun 2023 belum keluar. Sabar sedikit,” pintanya.
Disinggung terkait bocoran angka prevalensi stunting di Bali telah mencapai 4 persen di tahun 2023, Hasto Wardoyo pun berkelakar. “Nah katanya bocorannya begitu. Itu namanya bocor alus,” ujarnya.
Untuk di Bali sendiri, pihaknya menilai penurunan prevalensi stunting sangat bagus. Bahkan menjadi praktik terbaik. Hanya saja, tantangan di Bali yang merupakan daerah pariwisata, juga rentan terpapar budaya asing.
“Jadi hati-hati penyakit seksual yang terekspos budaya asing harus jadi perhatian. Misalnya kanker mulut rahim perlu dikaji di Bali ini, tinggi apa rendah? Karena berhubungan dengan early sexsual intercose. Kemudian hati-hati dengan penyakit seksual seperti HIV,” tandasnya.
Terkait kesehatan reproduksi, Hasto Wardoyo menegaskan sangat penting. Karena hubungan seks di era sekarang dilakukan maju. Bahkan dari mulai usia 14 tahun. Tapi, untuk kawin mundur di usia rata-rata 22 tahun.
“Perempuan rata rata 22 tahun kawinnya, tapi hubungan seksnya maju. Nah ini berbahaya jika tidak didiskusikan dan diedukasi. Apalagi banyak hamil diluar nikah maupun hamil yang tidak dikehendaki. Itu masalah serius,” jelasnya.
Pihaknya tak menampik, pembahasan seks di sekolah-sekolah masih dianggap tabu. Padahal, sexs education itu bukanlah tentang pendidikan seks. Namun, sebenarnya adalah bagaimana menjaga kesehatan organ laki-laki dan juga perempuan.
“Paling tidak sexs education ini masuk ke dalam ekstrakurikuler kayak pramuka. Jadi seminggu sekali di sekolah anak-anak diajarkan tentang kesehatan reproduksi,” harapnya.
Dia menuturkan, di negara negara maju sudah menerapkan sexs education. Siswa SMP sudah memahami tentang kesehatan reproduksi. “Mereka tahu menstruasi itu seperti apa, termasuk juga lama dan juga nyerinya,” pungkasnya. (jus/kb)