DENPASAR, Kilasbali.com – Ternyata penyebab minimnya masyarakat Bali yang berprofesi menjadi guide Mandarin karena bahasa ini sulit. Berbeda dengan bahasa lainnya seperti bahasa Inggris, Spanyol, Prancis maupun bahasa Jerman.
Terbukti dari 1600 pramuwisata yang ada di Bali, jumlah yang paling sedikit adalah guide Mandarin. Tourism Confucius Institute (TCI) Universitas Udayana mengungkap, 85 persen guide Mandarin masih dikuasai orang luar Bali.
Hal itu terungkap dalam saat Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Provinsi Bali bersama Fakultas Pariwisata Universitas Udayana bekerjasama dalam peningkatan kemampuan berbahasa Mandarin dalam program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM), Rabu (26/4). Acara itu juga dihadiri Director TCI dari China, Prof Tao Xianguang.
Ketua HPI Bali I Nyoman Nuarta menyampaikan terima kasih kepada TCI Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada HPI Bali untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Mandarin. Program ini diharapkan tetap terjalin secara berkelanjutan.
Nuarta mengajak memanfaatkan momentum dan peluang ke depan, khusus belajar bahasa Mandarin. “Ini kesempatan langka. Kalau dimanfaatkan dengan baik, saya yakin akan memiliki prospek besar,” ungkapnya.
Karena, lanjut dia, kunjungan wisatawan Tiongkok bakal meningkat, dan diprediksi membludak. Sementara guide Mandarin sekarang masih berasal di luar atau belum kembali ke Bali karena Covid kemarin. “Kesempatan ini agar mampu dimanfaatkan oleh anggota HPI Bali agar belajar secara sungguh-sungguh, sehingga nantinya mampu menjadi guide Mandarin yang berkualitas,” harapnya.
Sementara itu, Ketua TCI Fakultas Pariwisata Unud, I Made Sendra tidak menampik, bahwa sedikitnya peminat belajar bahasa Mandarin karena sulit dipelajari. Padahal Bali banyak membutuhkan guide pasar China. Karena pasar China dari tahun 2010 hingga 2019 mengalami tren peningkatan yang pada puncaknya pada tahun 2017 kunjungan mencapai 2.3 juta orang.
“Memang benar susah. Disamping juga di Unud belum ada jurusan sastra Mandarin. Pada tahun 2018 posisi kunjungan teratas adalah wisatawan Tiongkok menggeser posisi Australia,” bebernya.
Sementara itu, Wakil Dekan Fakultas Pariwisata Unud Yayu Indrawati menyampaikan, saat ini merupakan transisi dari pandemi menuju endemi, ada indikasi bagi dunia pariwisata, bahwa border-border semua negara hampir semua dibuka. Maka setiap saat akan ada kedatangan pariwisata, tanpa ada lagi pembatasan perjalanan.
Hal ini juga terjadi di negara China, seperti yang terjadi pada awal tahun 2023 pada bulan Februari. Adanya charter flight dari Shenzhen menuju ke Bali yang mengangkut sekitar 200 wisatawan.
“Saya liat penerbangan reguler dari China sudah normal. China sudah membuka penerbangan langsung ke Bali. Hal ini membawa dampak signifikan bagi yang bergerak di dunia pariwisata,” terangnya.
Ditambahkan, saat normal (sebelum pandemi red) kunjungan wisatawan Tiongkok ke Bali sebanyak 1,2 juta per tahun. Sementara saat ini diharapkan 70 persen dari 1,2 juta bisa tercapai. Sehingga pariwisata menggeliat kembali di Bali.
Dengan demikian, dari jumlah kunjungan yang akan datang, patut diiringi peningkatan kapasitas pramuwisata. Kesiapan SDM perlu disiapkan dari sisi pendidikan, skill, untuk bisa menghandle wisatawan Tiongkok.
Melalui menyelenggarakan pengabdian secara berkala ini, ada peningkatan jumlah peserta. Jika melihat statistik, tahun lalu terdapat 57 peserta, sekarang 85 peserta baru. “Kita berharap jumlah ini terus meningkat agar pramuwisata mampu menyebarkan edukasi budaya kepada wisatawan Tiongkok,” imbuhnya. (jus/kb)