DENPASAR, Kilasbali.com – Guna mengakomodasi atau mewadahi para pegiat seni modern dan kontemporer, Pemerintah provinsi Bali menggelar Festival Seni Bali Jani, sebuah gelaran kesenian yang akan berlangsung 26 Oktober hingga 8 November 2019 di Taman Budaya, Art Centre, Denpasar.
Festival Seni Bali Jani seperti dijelaskan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Wayan ‘Kun’ Adnyana akan menghadirkan seni inovatif, modern dan kontemporer guna merangsang kegairahan Generasi Millenial Bali dalam berkesenian. “Selain sebagai ruang edukasi, Festival Seni Bali Jani diharapkan akan menjadi ladang pembibitan bagi anak-anak muda Bali untuk tumbuh berkembang sebagai kreator-kreator hebat di bidang seni kontemporer dan modern,” kata Adnyana saat temu media di Kantor Disbud Provinsi Bali, Renon, Denpasar, Selasa (22/10/2019) siang.
Berbeda dengan ajang Pesta Kesenian Bali (PKB), yang merupakan ajang pemanggungan kesenian tradisional, klasik dan seni rakyat, Adnyana menambahkan bahwa Festival Seni Bali Jani memusatkan perhatian pada seni-seni kekinian yang memang dekat dengan realita kehidupan yang sedang dialami Generasi Millenial.
“Dengan demikian Bali kini memiliki dua festival seni besar dengan konsep dan style yang berbeda-beda yaitu; Pesta Kesenian Bali dan Festival Seni Bali Jani. Kedepan Bali akan memiliki dua ikon seni, yang mewadahi segenap genre dan jenis seni yang ada. Kita akomodasi semua. Ini sekaligus menjawab mimpi dan kegalauan para pegiat seni modern yang selama ini merasa kurang mendapatkan panggung untuk menampilkan dirinya,” tandas Adnyana yang didampingi Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Bali, AA Ngurah Oka Sutha Diana serta Rektor ISI yang bertindak selaku tim kurator.
Adnyana melanjutkan, festival ini digagas langsung oleh Gubernur Bali Wayan Koster, yang merupakan perwujudan nyata dari visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru Visi ini mengandung arti menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya, untuk mewujudkan kehidupan Krama Bali yang sejahtera dan bahagia, secara Sekala dan Niskala, sesuai prinsip Trisakti Bung Karno, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan, melalui pola pembangunan secara terpola, menyeluruh, terencana, terarah dan terintegrasi dalam bingkai Negara Kesatuan RI berdasarkan nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945.
Festival ini diharapkan akan menjadi jawaban sekaligus role model dalam membangun jati diri, integritas dan kompetensi di bidang seni dan ekonomi kreatif. Kedua bidang ini merupakan bidang unggulan yang selama ini telah memberikan kontribusi besar baik bagi perkembangan ekonomi maupun kepopuleran Bali.
“Kita tekankan juga eksplorasi dimana pencapaian eksplorasi tersebut masih bernafaskan nilai-nilai lokal, tradisi dan khasanah lokal Bali. Perpaduan tradisi dan kekinian ini diharapkan jadi langkah kontektual untuk penyelenggaraannya di masa yang akan datang,” urainya lagi.
Gelaran yang dikemas dengan segar dan kekinian ini menurutnya juga dirancang untuk menciptakan atmosfir berkesenian yang dinamis dan mampu menjawab tantangan dan persoalan kekinian. Juga tidak membatasi ruang dari segi usia. Anak-anak, remaja hingga dewasa hingga yang sudah mapan bisa terlibat, dengan harapan bisa menjadi perbincangan hingga di tingkat nasional.
“Bali Jani ini menggandeng siswa sebagai partner untuk mengapresiasi, sehingga tak hanya menjadi wadah tontonan, tetapi juga wadah edukasi terutama dikalangan siswa. Lebih dari itu, juga diharapkan ada inisiatif dari berbagai pihak untuk tampil, menunjukkan kreasinya di wadah yang kami sediakan ini,” harap Adnyana.
“Jadi para penonton, komunitas seni, masyarakat umum saya harapkan datang berbondong-bondong untuk menyaksikan gelaran yang dilangsungkan selama 2 minggu ini. Semoga bisa jadi brand yang setingkat dengan PKB di masa mendatang dan mampu mengisi memori kolektif orang Bali nantinya,” tambahnya.
Sementara itu, Rektor ISI Denpasar Prof. I Gede Arya Sugiartha, menyebut ajang ini sangat baik sebagai sebuah wahana untuk mendialogkan kembali seni tradisi dan seni modern yang selama ini terkesan berjarak di Bali. “Kita harus ingat kembali bahwa seni tradisi pun berasal dari kreasi yang dicanagkan dan dilestarikan sebagai tradisi. Seni modern, kontemporer bukanlah oposisi dalam dunia seni di Bali, tapi juga sarana untuk mengembangkan dan memperkaya seni tradisi, bukan berarti merusak. Omong kosong jika ada yang bicara seni tradisi tanpa kreativitas,” seru Prof Sugiartha.
Mengamini pernyataan Kadisbud Bali, Prof Sugiartha mengharapkan Festival Seni Bali Jani mampu mewadahi ruang kreatifitas seniman Bali dan turut pula meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap eksistensi seni modern. “Potensi anak-anak muda Bali sangat luar biasa dan itu tidak bisa ditampung semua dalam gelaran PKB. Di Bali seni tradisi berkibar dengan gagah dan kedepannya saya harap seni modern juga bisa mengimbangi,” katanya.
Pun demikian dengan pendapat musisi Bali Gede Lanang Wiweka yang menyoroti kondisi selama ini di Bali dimana para seniman terutama musisi ini belum begitu dilibatkan oleh Pemerintah daerah.
“Festival ini adalah kabar baik bagi para seniman musik, musisi muda untuk menampilkan dirinya. Apapun jenis dan aliran musiknya. Juga memberikan ruang yang lebih lebar untuk eksplorasi dan kolaborasi antar seniman lintas genre untuk membuat ‘gebrakan’ baru. Potensinya sangat luar biasa, musisi, desain grafis, hingga film maker sangat banyak di Bali dan mereka perlu kesempatan,” tandas bassist Lolot Band yang juga dikenal dengan nama Mr Botax ini.
Mengusung tema Hulu-Teben, Dialektikal Lokal- Global, festival yang diselenggaarakan selama dua minggu ini menyajikan 5 konsep, yaitu; Eksplorasi, Eksperimentasi, Lintas-batas, Kontekstual dan Kolaborasi.
Konsep Eksplorasi, menyajikan pencapaian seni inovatif berbasis kreativitas pribadi, sementara ide dan subjek eksplorasi tetap berbasis tradisi atau nilai lokal. Konsep Eksperimentasi ada sebuah pencapaian seni modern/kontemporer berbasis kreativitas dan percobaan medium/media. Konsep Lintas-batas mensyaratkan pencapaian seni baru berbasis alihmedia, multimedia maupun transmedia.
Sementara Konsep Konstekstual mensyaratkan adanya pencapaian seni baru secara tematik, gaya, dan style yang relevan dengan tema dan waktu penyelenggaraan Festival Seni Bali Jani. Sedangkan Konsep Kolaborasi merujuk pada proses dan pencapaian seni modern atau kontemporer berbasis sinergi dan kerjasama antar seniman Bali atau luar daerah serta luar negeri.
Materi kegiatan ada 6 jenis yaitu Pawimba (lomba), Aguron-guron (workshop), Adilango (pergelaran), Kandarupa (pameran), Tenten (pasar malam seni) dan Timbang Rasa (sarasehan), paparnya.
Ada 13 jenis lomba yang terdiri, Baca Puisi Tingkat SD, Baca Puisi Tingkat SMP, Baca Puisi Tingkat SMA/SMK, Musikalisasi Puisi, Cerita Pendek tingkat SMA/ SMK, Cerita Pendek Tingkat Umum, Teater Modern, Desain Busana Malam Modern Bernuansa Bali, Stand Up Komedi Bali, Film Pendek, Kartun Opini, Seni Instalasi Outdoor dan Desain Logo Festival Seni Bali Jani.
Kegiatan Aguron-goron menampilkan 4 jenis workshop yaitu Manajemen Seni, Penulisan Kritik Seni, Cipta Puisi, Tata Rias Karakter. Kegiatan Kandarupa juga ada 4 ragam, yaitu Pameran Photo dan Kartun (Memorabilia), Seni Rupa (Instalasi Outdoor), Buku Sastra dan Seni serta Pameran Desain.
Sementara Tenten menghadirkan 3 jenis pasar malam seni, yaitu Kuliner (Anak Muda) Kreatif Berbasis Tradisi sejenis Komunitas Food Truck, Perusahaan Anak Muda (dikaitkan dengan industri kreatif) yang melibatkan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Provinsi Bali dan Pasar Seni.
Sementara untuk kegiatan Adilango menampilkan 39 jenis pagelaran, sehingga dalam satu hari ada 4 sampai 5 pertunjukan. Jenis pagelaran itu, seperti Gelar Seni Kolaborasi Kolosal (Pembukaan), Komedi Stambul, Parade Pertunjukan Baca Puisi, Gelar Musikalisasi Puisi, Gelar Teater Modern/ Kontemporer, Fashion Desain Show, Gambelan Kontemporer, Tari Kontemporer, Wayang Kontemporer, Musik Pop Bali, Pemutaran Film Pendek Pemenang Lomba, Apresiasi Seni Sastra, Video Mapping dan Gelar Seni Kolaborasi Kolosal (Kelompok Penyair, Teater, Perupa, Penari dan Musisi dengan memanfaatkan Teknologi) dan acara penutupan.
Untuk kegiatan Timbang Rasa, atau sarasehan mengangkat tema Menuju Bali Pusat Seni Kontemporer Dunia dengan menyajikan 3 Sub Tema yaitu Strategi Pemanggungan Seni Pertunjukan Kontemporer Kelas Dunia, Membaca Posisi Bali dalam Medan Seni Rupa Kontemporer Dunia dan Tradisi Kreatif dan Penerbitan Sastra Kontemporer Bali.
Timbang Rasa ini mengundang peserta dari kalangan seniman, budayawan dan mahasiswa. Sebagai narasumber yaitu Dr. Hilmar Farid (Direktur Jendral Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dengan Topik : Strategi Pemanggungan Seni Pertunjukan Kontemporer Kelas Dunia, Putu Fajar Arcana (Editor Budaya Harian KOMPAS Jakarta) dengan topik : Tradisi Kreatif dan Penerbitan Sastra Kontemporer Bali, Nyoman Nuarta (Pematung) dengan topik : Membaca Posisi Bali dalam Medan Seni Rupa Kontemporer Dunia,dan Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Lit. (Guru Besar UNUD) dengan topik : Tradisi Kreatif dan Penerbitan Sastra Kontemporer Bali. (rls/kb)