GIANYAR, Kilasbali.com – Sebagai wadah seni dan budaya, Neka Art Museum menunjukkan komitmennya dalam pelestarian budaya dengan menggelar forum diskusi bertajuk “Indonesian Wave versus Global Wave in Cultural Industry” yang akan berlangsung pada Sabtu (14/6).
Kegiatan ini merupakan bagian dari gerakan Indonesian Wave – Jelajah Negeri, Budaya Bersemi, sebuah inisiatif budaya yang bertujuan memperkuat kesadaran generasi muda terhadap nilai, akar, dan potensi kebudayaan Indonesia di tengah arus globalisasi.
Acara ini diinisiasi oleh Neka Art Museum, bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan, Dana Indonesiana, dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sejumlah tokoh turut ambil bagian, termasuk seniman, akademisi, budayawan, dan masyarakat umum yang peduli terhadap masa depan kebudayaan nasional.
Mewakili Neka Art Museum, Pande Made Kardi Suteja, Kamis (12/6) menyatakan, pihaknya dengan senang hati membuka ruang bagi diskusi budaya demi memperkuat posisi budaya Indonesia di tengah persaingan global.
“Forum ini berlangsung di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, sejak Februari 2025 dan menjadi bagian dari rangkaian kegiatan kebudayaan yang digelar secara berkelanjutan. Ubud dipilih karena dikenal sebagai pusat kebudayaan yang aktif dan berpengaruh di Indonesia,” katanya.
Disebutkan, era digital arus budaya asing masuk begitu cepat melalui media sosial, hiburan, hingga gaya hidup, sehingga budaya lokal perlahan terpinggirkan.
“Forum ini muncul sebagai wujud kegelisahan sekaligus harapan akan pentingnya menjaga, mengembangkan, dan memperkuat budaya lokal sebagai identitas bangsa dan sumber daya nasional,” ungkapnya.
Lanjutnya, forum ini diharapkan menumbuhkan rasa bangga dan cinta generasi muda terhadap budaya Indonesia.
Mendorong pelaku seni dan industri kreatif untuk mengangkat potensi budaya lokal dalam karya mereka. Serta menjadikan budaya Indonesia sebagai kekuatan lunak (soft power) yang mampu bersaing di panggung global, sebagaimana keberhasilan fenomena K-pop di Korea Selatan. “Forum ini dilaksanakan secara inklusif, melibatkan generasi muda, lansia, hingga penyandang disabilitas,” tambahnya.
Salah satu narasumber, Tubagus Andre Sukmana, budayawan nasional, menyampaikan bahwa diperlukan strategi untuk menghadapi derasnya pengaruh budaya asing. Ia menekankan pentingnya inovasi dan kreativitas dalam mempertahankan budaya lokal. Menurutnya, generasi muda harus dilibatkan secara aktif dalam gerakan ini, dengan tetap terbuka terhadap pengaruh luar tanpa kehilangan identitas.
“Perlu kontribusi generasi muda, kesadaran akan akar budaya, serta tidak alergi terhadap budaya asing. Yang penting, kita memiliki filter dan rasa bangga terhadap budaya sendiri,” ujar Tubagus.
Sementara itu, Benito Lapulalan selaku moderator forum menegaskan pentingnya pembinaan kebudayaan dari hulu ke hilir—mulai dari pelaku seni, museum, sanggar, hingga data budaya daerah yang sering kali terlupakan. Ia juga menyoroti bahwa saat ini Indonesia telah memiliki payung hukum tentang pemajuan kebudayaan, yang harus dimanfaatkan secara optimal.
Gerakan Indonesian Wave bukan sekadar program, melainkan sebuah panggilan kolektif untuk kembali “menjelajah negeri”—mengenal, mencintai, dan memelihara budaya lokal sebagai inspirasi masa depan.
Di tengah tantangan globalisasi, budaya Indonesia tidak boleh hanya menjadi artefak museum, tetapi harus menjadi denyut kehidupan yang terus berkembang di tengah masyarakat. (ina/kb)