TABANAN, Kilasbali.com – Produsen cokelat di Bali tengah menghadapi krisis biji cokelat. Kondisi ini disebabkan karena semakin menjamurnya perusahaan yang memproduksi cokelat.
Kondisi ini ditambah lagi dengan faktor cuaca yang turut membuat rendah produksi biji cokelat dari semula seribu ton menjadi 300 kilogram dalam setahun.
Krisis biji cokelat ini salah satunya dirasakan Cau Chocolate di Desa Tua, Kecamatan Marga. Perusahaan ini bahkan berencana membeli biji cokelat sampai ke luar kota.
Seperti diungkapkan CEO PT Cau Cokelat, Kadek Surya Prasetya Wiguna, krisis biji cokelat ini mulai dirasakan sejak enam bulan terakhir.
Padahal, setiap bulan perusahaannya paling tidak memerlukan 15 ton biji cokelat untuk diproduksi. Atau, sekitar 500 kilogram dalam sehari.
“Dengan jumlah produksi seperti itu, banyak sekali masalah yang dihadapi. Salah satunya kami kesulitan mendapatkan biji cokelat,” sebutnya, Rabu (20/12).
Menurutnya, sudah banyak pabrik pengolahan cokelat yang buka di Bali. Ia berharap, keberadaan pabrik cokelat tersebut mampu menyerap tenaga kerja lokal. Termasuk bahan bakunya.
Sekalipun demikian, krisis biji cokelat yang terjadi saat ini di sisi lain memberi dampak positif bagi para petani.
Sebab, sambungnya, harga biji cokelat khususnya yang sudah difermentasi mengalami peningkatan. Satu kilogramnya mencapai Rp 60 ribu. Sedangkan yang nonfermentasi di harga Rp 30 ribu per kilogram.
“Jadi ini peluang besar. Petani yang memiliki biji kalau bisa dikirim ke kami. Selain itu ayo bersama-sama menanam kakao,” ucapnya.
Mengenai krisis biji cokelat, perusahannya berencana mencari ke luar Bali seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Timur, hingga Sumatera Utara. Sebab, serapan biji cokelat di Bali sudah sangat terbatas. Hanya berkisar dua sampai tiga ton per bulan.
“Kami masih melakukan penjajakan untuk memenuhi kebutuhan 15 ton per bulan,” sebutnya.
Selain mencari biji cokelat ke luar daerah, pihaknya juga berencana akan melakukan penanaman secara mandiri di Kabupaten Jembrana. (c/kb)