DENPASAR, Kilasbali.com – Anggota Komisi IX DPR RI I Ketut Kariyasa Adnyana menemui Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr I Nyoman Gede Anom. Kedatangan dewan dapil Bali ini untuk memperkenalkan teknologi baru untuk menekan terjadinya DBD hingga mencegah chikungunya.
Kariyasa Adnyana menyampaikan, salah satu penyakit endemik yang penting untuk diwaspadai adalah demam yang disebabkan oleh virus dengue karena dapat menyebabkan kematian. Indonesia memiliki lebih dari 7 juta kasus demam berdarah setiap tahun. Setiap tahunnya, kasus dengue terus menjadi permasalahan kesehatan. Selama masa pandemi Covid-19, adanya kejadian luar biasa (KLB) dengue menjadi beban ganda kesehatan.
“Tahun 2021, berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, akumulasi nasional kasus DBD dari Januari hingga Juli 2021 di Indonesia mencapai 30.089 kasus dengan jumlah kasus Demam Dengue (DD) mencapai 30.480 kasus. Sebanyak 255 penderita diantaranya dilaporkan meninggal dunia. Hingga kini dilaporkan jumlah kabupaten/kota yang terjangkit terus bertambah menjadi 387 di 32 provinsi,” ungkapnya.
Data pembiayaan dari Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) menunjukkan bahwa biaya untuk perawatan DBD di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) berkisar pada 883 juta rupiah sampai 3,7 miliar rupiah per bulannya di tahun 2020.
Pada tahun 2020, terdapat 5 (lima) kabupaten/kota dengan angka kasus tertinggi, dua di antaranya ada di Bali yaitu Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Badung. Data per tanggal 30 November 2020 terdapat lima kabupaten/kota dengan kasus DBD tertinggi Nasional, tiga di antaranya berada di Bali, yakni Buleleng 3.313 orang, Badung 2.547 orang, serta Gianyar 1.717. “Bali telah belajar dari pandemi bahwa kesehatan merupakan hal yang penting dalam menjaga keberlangsungan ekonomi pariwisata di Bali,” ujarnya.
Bali, sebagai provinsi yang mengandalkan wisata sebagai penggerak ekonomi sangat berkepentingan agar dengue bisa dikendalikan mengingat dengue yang masih endemik di Bali sedikit banyak mempengaruhi image Bali di mata wisatawan internasional. Demam Berdarah merupakan problem kesehatan di Bali yang hingga kini kasusnya masih tinggi di Bali, sehingga memerlukan pendekatan yang berbeda.
“Untuk itu, saya menyambut baik adanya Strategi Nasional (Stranas) Penanggulangan Dengue 2021-2025 Kementerian Kesehatan RI sebagai basis kebijakan pengendalian dengue nasional. Strategi ke-enam adalah penggunaan teknologi dan inovasi dalam pengendalian dengue,” ujarnya.
Kariyasa yakin, pengendalian dengue harus kolaboratif dan harus melibatkan teknologi. Untuk itu, ketika hasil penelitian aplikasi Aplikasi Wolbachia Untuk Eliminasi Dengue (AWED) yang telah dilakukan World Mosquito Program (WMP) dengan bekerjasama dengan UGM dan didukung oleh Yayasan Tahija berhasil, pihaknya sangat berharap Bali bisa menjadi bagian dari implementasi teknologi ini. Bahkan program yang dia tawarkan ini tanpa membebani APBD Bali.
“Hasil AWED ini efektif menurunkan 77,1% kasus dengue di Kota Yogyakarta dan menurunkan kebutuhan perawatan RS hingga 86,2%. WHO sebagai badan kesehatan dunia juga menyatakan bahwa intervensi menggunakan Wolbachia ini terbukti berguna untuk kesehatan masyarakat. Untuk itu, saya mendukung penuh perluasan aplikasi inovasi Wolbachia ini di Provinsi Bali sehingga saya sejak awal telah mengkomunikasikan rencana WMP untuk perluasan ke Bali ke Menteri Kesehatan,” ungkapnya.
Pihaknya mengapresiasi Kementerian Kesehatan RI yang juga mendukung perluasan ini yang rencananya akan dilakukan dalam 4 tahap yang akan dimulai tahap pertama di Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng.
“Saya juga mengapresiasi Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Kabupaten Buleleng yang secara penuh mendukung perluasan ini terutama untuk tahap. Semoga ikhtiar bersama dengan pendekatan baru penanganan Demam Berdarah di Bali menggunakan Wolbachia ini, yang bekerjasama dengan World Mosquito Program (WMP) dapat mewujudkan Bali bebas dengue sehingga Bali bisa bangkit lagi lebih maju secara ekonomi dan lebih sehat masyarakatnya,” harapnya.
Nyoman Gede Anom menuturkan, Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Bali lumayan besar. Hingga Juli 2022 ini, masyarakat terkena DBD mencapai 3.158 orang. Dari jumlah itu, 7 orang meninggal dunia. “Kasus terbesar terjadi di Denpasar, Karangasem, dan Buleleng,” ungkapnya.
Menurutnya, penganan telah dilakukan di hulu dengan metode 3M, yakni menguras/membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain, menutup rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD.
“Jumantik juga kita lakukan, dan hilir adalah fogging (pengasapan, red). Ini kita lakukan tentu tidak efektif, apalagi fogging itu malah membikin resisten/kebal nyamuk sebenarnya. Tapi kadang-kadang masyarakat inginnya begitu ada kasus fogging. Untuk menyenangkan ya kita fogging padahal dampaknya bikin resistensi nyamuk,” jelasnya seraya menyampaikan terima kasih dan apresiasi Ketut Kariyasa yang membawa teknologi baru dalam menangani DBD ini.
Sementara itu, Director Advocacy and External Relation Dr. dr Claudia Surjadjaja menyampaikan, WMP Monash University Australia dan sudah bekerja di 11 negara. Sementara itu, uji coba telah dilakukan di Yogyakarta yang menunjukkan hasil penurunan kasus 77 persen.
Claudia menuturkan, metode yang dilakukan dalam mencegah DBD di Bali yang dengan memanfaatkan nyamuk ber-wolbachia. Dikatakan, 20 tahun lalu Monash mengambil ekstraksi wolbachia ini dari lalat buah untuk di micro injeksikan ke nyamuk aedes aegypti di dalam nyamuk ini ada virus dengue, sehingga virus wolbachia ini berkompetisi dan virus aedes aegypti ini kalah. “Jadi nyamuknya tetap ada tapi sudah tidak ada virus dan tidak menularkan aedes aegypti,” tuturnya.
Dijelaskan ada beberapa metode yang dilakukan sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungan. Di antaranya metode melepaskan nyamuk jantan ber-wolbachia, kemudian nyamuk betina ber-wolbachia, serta telur, sehingga metode ini murah dan suisenabel. “Kenapa Bali? Karena kami sudah mulai mendiskusikan dengan Kemenkes sejak 2020 untuk membawa ini sebagai intervensi baru, komplementer dengan program –program yang sudah ada. Yakni fogging, 3M, itu tetap berjalan. Tetapi ini teknologi baru untuk mempercepat menghilangkan dengue,” jelasnya. (m/kb)