DENPASAR, KIlasbali.com – Orang bilang kini era kolaborasi. Kolaborasi merasuk ke segala sektor. Tak terkecuali di bidang seni. Kolaborasi seni Jaranan dan seni tradisi Wayang Wong alias Jarwo menjadi andalan partisipasi Kabupaten Blitar yang pentas di Kalangan Ayodya, Taman Budaya, Minggu malam (30/6/2019).
Kesenian Jarwo menurut Penata Iringan pementasan Kesenian Jarwo dari Kabupaten Blitar, Galih Robibinur menuturkan bahwa kesenian Jarwo merupakan kolaborasi kesenian daerah Jaranan dengan seni tradisi Wayang Wong.
“Sebetulnya kita angkat dari wayang orang, lalu kita padukan dengan spirit tradisi dari kota Blitar yaitu Jaranan. Jadi kita singkat JARWO. Singkatan dari Jaranan Wayang Orang. Itu kolaborasi kesenian dari daerah Jaranan, yang digabungkan teater tradisi dari wayang orang,” terang Galih saat ditemui sebelum pementasan partisipasi Kabupaten Blitar dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 tahun 2019.
Masih menurut Galih, selama ini kesenian Jaranan biasanya berdiri sendiri. Wayang Orang juga berdiri sendiri. “Yang menariknya dari kita karena potensi juga ada, Sumber Daya Manusianya juga ada, kita mencoba untuk berkolaborasi. Istilahnya itu menggabungkan supaya kesenian-kesenian tradisi yang tadinya surut dan sedikit diminati hanya beberapa pihak, jadi nanti harapannya setelah dikolaborasikan bisa lebih diterima di masyarakat,” papar Galih.
Menurut Galih tidak hanya diterima oleh masyarakat, besar harapannya juga dapat diterima seniman. Karena menurut Galih, ada daya tarik tersendiri yang mungkin belum pernah ada. Sehingga ia dan sanggarnya mencoba untuk memperbaharui lagi. “Merasakan memberikan warna baru lagi untuk dunia kesenian tradisi,” tutur Galih.
Pada penampilan kali ini menurut Galih sanggarnya yakni Sanggar Patrialoka mengangkat lakon ‘Bayu Pramana. Lakon ‘Bayu Pramana’ mengisahkan tentang Bima yang berniat mencari kesempurnan hidup kepada guru Drona. Sang guru menyuruh Bima untuk mencari pusat angina ke Hutan Tribasara di lereng Gunung Reksamuka.
Di tempat itu, Bima justru bertemu dan membebaskan dengan Hyang Guru dan Hyang Indra dari kutukan. Keduanya mengatakan bahwa kayu Gung Susuhing angin tidak ada di tempat itu. Maka kembali Bima atau Bratasena menemui sang guru Drona. Lagi-lagi guru Drona menyuruh Bima mencari tirta amerta mahening suci di dasar samudera Minankalbu.
“Perintah guru runa sebenarnya sangatlah dipengaruhi oleh keinginan Duryudana untuk menghabisi Bratasena. Tetapi karena kesungguhn dan bakti Bratasena atau Bima terhadap sang guru, justru mempertemukannya dengan Dewa Ruci atau Sang Maha Sejati di dasar samudera. Dia mendapat wejangan ilmu kesempurnaan. Bhima memang tidak mendapatkan ilmu kesempurnaan dari guru Drona, tetapi karena kepatuhannya pada perintah gurulah yang membawanya mencapai kesempurnaan,” beber Galih.
Pementasan yang disutradari Albert Yonathan Prasetya dengan penata artistic Andik Rudianto ini mampu memuaskan penonton yang datang ke PKB malam itu. (kb)