GIANYAR, Kilasbali.com – Menyikapi aksi puluhan kramanya ke BPN, dan adanya pengaduan ke polisi, Bendesa Adat Jro Kuta Pejeng, Tampaksiring, Cokorda Gde Putra Pemayun pun angkat bicara. Dihadapan awal media, Kamis (23/7/2020), Palingsir Puri Pejeng ini menegaskan, jika teba juga termasuk Tanah ayahan karang desa atau PKD. Jadi sesuai awig-awig yang jadi tongkatan desa adat setempat, Prajuru wajib mempertahankan aset desa adat ini.
Pihaknya pun menyayangkan sikap beberapa krama yang dinilai tidak paham dengan isi awig-awig ataupun yang berkeinginan menjadikan tanah adat ini sebagai hak milik.
Cok Pemayun yang mantan birokrat ini menegaskan, tanah teba merupakan satu kesatuan dengan karang ayahan desa. Sehingga menjadi kewajiban desa adat untuk mensertifikatkannya sebagai PKD agar mendapt kepastuan hukum.
Apalagi, dari landasan konsep Tri Hita Karana, tanah teba itu memang termasuk palemahan. Di mana, tanaman yang ada dapat digunakan memenuhi kewajiban krama saat ngayah di pura sehingga tidak sampai membeli.
“Landasan itu diwarisi oleh leluhur kami secara turun temurun. Di awig-awig juga tersurat dan menjadi dasar prajuru adat untuk mempertahankan teba termasuk ayahan karang desa,” tegasnya mantan Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Gianyar ini.
Megenai pemberitaan terkait aksi krama ke BPN Gianyar yang kemudian krama dipersilahkan menyampaikan keberatan sampai bulan Agustus, pihaknya tidak mau tahu. Terlebih itu adalah kewenagan BPN dan pihak sebagai prajuru tidak ada kapasitas.
Namun, pihaknya mengingatkan bahwa SPPT (surat pemberitahuan pajak teutang) bukan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah. “Sangat wajar tanah teba kena pajak, karena menghasilkan. SPPT itu bukan tanda bukti sebagai hak milik,” tegasnya.
Pihaknya juga mempertanyakan jumlah pekarangan yang mengajukan keberatan yang disebutkan mencapai 70-an orang. Nyatanya hanya, hingga kini sebutnya, hanya 44 krama atau pekarangan yang mengajukan, dari total 280 pekarangan.
Bahkan Cok Pemayun merinci, yang mengajukan keberatan sebanyak 19 orang dari Banjar Pande, 8 orang dari Banjar Intaran, 2 orang dari Banjar Puseh, dan 15 orang dari Banjar Guliang.
Di Banjar Pande, sebutnya, awalnya yang ajukan keberatan 35 orang, setelah beberapa dari mereka datang konsultasi ke prajuru, mereka yang paham mundur sebanyak 16 pekarangan. Banjar Intaran awalnya 18, mundur 10.
Guliang 15 orang tetap ajukan keberatan, Puseh 2 orang. Jadi totalnya 44 orang, bukan 75 orang. “Data kami ini semua valid, lengkap dengan surat pernyataan mereka mengundurkan diri dari keberatan, ” paparnya.
Lanjutnya, krama yang mengajukan keberatan besar keinginannya untuk menguasai teba sebagai hak milik. Sementara pihaknya tetap berpegang pada awig-awig. “Krama yang keberatan itu, kemungkinan belum paham isi awig-awig atau memang sengaja tidak mau memahami, karena besar keinginannya untuk memiliki,” tudingnya.
Kini, sebagai prajuru adat, pihaknya akan tetap mengikuti perkembangan pengajuan keberatan 44 krama ini. Pihaknya pun menilai itu sebgai hal yang wajar. Namun, pihaknya mengingatkan, jika dalam awig-awig juga ada aturan mainnya dalam menyampikan keberatan.
Setidaknya krama harus menyampaikan ke kelian adat. Kalau kurang puas, lanjut ke sangkepan atau paruman banjar. Kalau belum juga diterima baru sampaikan ke desa adat. “Tahapan di aturan adat ini kan tidak dijalankan dan malah main lapor polisi, ” sesalnya.
Lalu terkait proses pensertifikatan yang dinilai tanpa sepengetahuan krama, menurut Cok Pemayun hal tersebut keliru. Bahwa tanah milik desa adat disertifikatkan sesuai program nasional.
Apalagi, prajuru adat ini menjalan amanah program nasional. Disebutkan, dalam proses pengajuan sertifikat, krama mengumpulkan KK dan KTP. “Setelah selesai disertifikatkan malah baru ada yang mengajukan keberatan. Seharusnya dari awal, ” herannya.
Dijelaskan pula, isi sertifikat teba sebagai PKD selaku pemilik adalah Desa Adat Jro Kuta Pejeng. Di bawahnya tertulis yang ditempati si a si b, yang ada di pekarangan tersebut. Jadi nama krama tercantum dalam sertifikat.
Dalam awig-awig, tanah teba juga dibebaskan untuk dijual maupun dikontrakkan. Hanya saja, kewajiban ngayah ke desa harus beralih ke pembeli atau pengontrak.
“Dalam awig-awig, bagi krama yang mau jual kontrak silahkan, Desa adat tidak minta bagian. Tapi bagi yang membeli dalam awig diatur wajib ngayahan karang desa. Desa adat nuntut ayah saja. Kami mempertahankan druwen desa berdasarkan awig, dresta adat dan budaya,” pungkasnya. (ina/kb)