DenpasarSeni Budaya

Pameran Seni Rupa “Samya”, Mempertimbangkan Keseimbangan yang Tak Seimbang

    DENPASAR, Kilasbali.com – Sepuluh seniman yang tergabung dalam Komunitas Nitirupa memamerkan 20 karya dari perenungan terhadap kondisi terkini negeri ini dengan tajuk “Samya” di Santrian Gallery, Griya Santrian Resort & Spa, Jalan Danau Tamblingan 47, Sanur.

    Perupa dari Komunitas Nitirupa yang berpameran kali ini adalah Galung Wiratmaja, Loka Suara, Made Gunawan, Made Wiradana, Nyoman Sujana Kenyem, Pande Alit Wijaya Suta, Putu Bambang Juliarta, Teja Astawa, Uuk Paramahita, dan Wayan Redika.

    Baca Juga:  Peringatan BKGN 2024, Begini Pesan Pj Ketua TP PKK Bali

    Koordinator Komunitas Nitirupa, Wayan Redika mengatakan, pameran ini akan dibuka oleh pemain teater dan pencinta seni Happy Salma pada Jumat, 13 September 2019 pukul 18.30 WITA. Di mana pameran bakal berlangsung hingga 31 Oktober 2019.

    “Pameran ini berawal dari perbincangan tentang isu-isu lokal hingga sejumlah peristiwa yang terjadi di negeri ini. Topiknya sangat beragam, baik perihal lingkungan, ekonomi, politik, nasionalisme, dan berbagai persoalan aktual lainnya. Kami bersepakat untuk mengusung pameran yang berpijak dari perenungan tentang berbagai kondisi tersebut,” katanya, Kamis (12/9/2019).

    Baca Juga:  Persewangi VS Bali United, Laskar Blambangan Hadapi Tantangan Tim Lebih Kuat

    Menurut Redika judul pameran “Samya” diambil dari bahasa Kawi atau Jawa Kuno yang artinya seimbang atau keseimbangan.

    “Sejatinya, inilah puncak dari seluruh pergolakan pemikiran para perupa komunitas ini dan bagaimana keseimbangan itu bisa diwujudkan,” ujarnya.

    Dikatakannya, ketidakseimbangan yang terjadi di berbagai tempat telah mengancam tatanan kehidupan.

    Kenyataan yang dihadapi dan impian tentang idealisasi kehidupan pun semakin membentang dalam batas yang entah kapan saling mampu menjangkau.

    Baca Juga:  Doa Bersama Lintas Agama untuk Sukseskan Pilkada Serentak di Bali

    “Masyarakat di Pulau Dewata memiliki rujukan tentang Trihita Karana, tetapi Bali sendiri kini semakin kehilangan wujud kesadaran dalam memberi arti yang sebenarnya atas filosofi adiluhung tersebut.

    Sehingga yang dinikmati saat ini hanyalah keseimbangan yang tak seimbang,” pungkasnya. (jus/kb)

    Back to top button

    Berita ini dilindungi