KARANGASEM, Kilasbali.com-Calon Gubernur dan Wakil Gubernur nomor urut 1, Wayan Koster-Tjok Oka Arta Ardana Sukawati (Koster-Ace) menggelar kampanye dialogis dengan seribuan warga di Banjar Dinas Pengawan, Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Pada kesempatan itu, sejumlah warga beramai-ramai menyatakan harapannya. Salah satunya adalah Ketut Nana yang berprofesi sebagai petani salak. Ia menceritakan, saban panen raya tiba harga salak di desanya justru anjlok. Alih-alih menuai keuntungan secara maksimal, harga salak saat panen raya justru terjun bebas. “Saat panen harganya justru jatuh dari yang biasanya Rp2.000 per kilogram, bisa menjadi Rp1.000 per kilogram. Mohon solusinya nanti Pak setelah terpilih menjadi Gubernur Bali. Kami mendukung program Bapak yang cukup realistis dan pro rakyat,” kata Nana, Senin (20/2/2018).
Mendapat pertanyaan demikian, Koster lantas memaparkan sejumlah program unggulannya dalam memimpin Bali ke depan. Ia memaparkan konsep Nangun Sat Kerthi Loka Bali yang akan menjadi pijakannya membangun Bali jika terpilih sebagai Gubernur Bali pada 27 Juni mendatang. Salah satu hal program yang akan diperhatikan dalam konsepnya itu adalah sandang, pangan dan papan.
Khusus untuk pangan, kandidat yang diusung PDI Perjuangan, Hanura, PAN, PPP, PKB dan PKPI itu inin mencanangkan program pembangunan pertanian untuk memperkuat kemandirian Bali di bidang pangan. “Baik beras maupun buah dan sayur mayur, saya akan kembangkan dari hulu hingga ke hilir untuk kesejahteraan masyarakat. Di sini akan dibangun pertanian yang jumlahnya mencukupi kebutuhan warganya,” kata Koster.
Desa Sibetan, Koster melanjutkan, terkenal dengan pertanian salak. “Desa Sibetan ini merupakan desa penghasil salak terbaik di Bali,” papar dia. Koster ingin pertanian di Karangasem memiliki daya saing yang cukup baik, di mana sesungguhnya secara potensi cukup besar. “Contoh, misalnya salak. Tidak ada yang mengalahkan salak yang dihasilkan petani kita di Karangasem ini, khususnya di Desa Sibetan,” ujar dia. Hanya saja, Koster sering mendengar keluh kesah petani salak di sini yang acap kali mengalami harga yang anjlok pada saat musim panen seperti disamoaikan Ketut Nana. Dengan begitu, petani yang berharap mendapat pendapatan lebih saat musim panen, justru terjadi sebaliknya karena harga salak di bawah pasaran.
Saat musim panen, harga untuk satu kilogram salak pernah mencapai harga terendah yakni Rp600 per kilogram. “Petani kita prihatin. Ke depan tidak bisa lagi kondisi ini dibiarkan. Harus dicarikan jalan ke luarnya. Solusi untuk menangani hasil pertanian Bali seperti salak, jeruk, mangga, rambutan dan sebagainya,” papar dia.
“Kita bicara salak Karangasem dulu. Saya akan buatkan kerja sama antar-kabupaten antara Karangasem dan kabupaten lain yang memiliki pasar. Sebagai destinasi pariwisata, setiap tahun Bali kedatangan sekitar 6 juta turis asing. Belum lagi domestiknya. Ini bisa dimaksimalkan menjadi pasar salak kita,” tambah Koster.
Ke depan, Koster akan membuatkan satu badan perusahaan milik daerah di masing-masing kabupaten yang akan bersinergi satu sama lain. Jika diperlukan, Koster siap memfasilitasi pembangunan badan usaha di tingkat desa. “Nanti fungsinya menyalurkan hasil salak ke kabupaten lain, terutama Kabupaten Badung yang memiliki hotel dan didatangi wisatawan lebih dari 80 persen menginap di sana,” katanya.
Sebagai Gubernur Bali kelak, Koster akan menjalin kerja sama dengan Bupati Badung untuk membeli produk salak Karangasem. “Gubernur yang akan mengatur, karena sudah satu jalur. Bisa dibuat kelompok usaha di sini. Nanti ini yang menampung hasil taninya. Kalau anjlok harganya, badan ini yang akan membeli. Harus untung petaninya harga jualnya,” tuturnya.
Tak hanya itu, Koster juga akan membuat aturan yang mewajibkan hotel membeli buah salak hasil dari Desa Sibetan. “Nanti salaknya dibagi langsung ke kamar-kamar hotel. Sehingga petani di sini sudah bisa menghitung berapa modalnya, berapa ton per tahun, berapa harganya sudah diketahui dan berapa punya uang di musim panen,” ucapnya.
“Sekarang di Bali kalau turis yang berkunjung 6 juta orang, satu orang mau makan salak, belum lagi untuk kebutuhan sembahyang. Semestinya tidak ada istilah merugi kalau sudah ditangani degan baik antar-kabupaten. Saya akan tata dengan peraturan daerah, agar petani kita betul-betul bisa merasakan keberadaan pariwisata,” tutur Koster menambahkan.
Begitu juga dengan teknologi pengolahan, Koater berjanji akan terus meningkatkannya. “Tentu teknologinya juga akan kita tingkatkan. Saya sudah pikirkan termasuk anggarannya,” demikian Koster. Simakrama kali ini diakhiri dengan megibung bersama. (*KB).