TABANAN, Kilasbali.com – Bidang Hukum (Bidkum) Polda Bali menghadirkan pakar hukum pidana Dr. Dewi Bunga, SH. MH sebagai saksi ahli dalam sidang praperadilan yang dimohonkan tersangka kasus pelecehan seksual, I Kadek Dwi Arnata alias Jero Dasaran Alit, pada Senin (30/10) di Pengadilan Negeri (PN) Tabanan.
Dalam kehadirannya di sidang tersebut, Dr. Dewi Bunga lebih banyak mengulas tentang alat bukti dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022.
Sesuai pendapatnya, pada prinsipnya kalau ada ketentuan khusus yang mengatur tentang alat bukti maka ketentuan umum bisa dikesampingkan. Bila tidak ada, maka kembali kepada ketentuan umum yang diatur dalam KUHAP.
“Terkait alat bukti TPKS diatur dalam pasal 24 dan 25 ada beberapa kekhususannya. Yang pertama dan paling penting adalah keterangan saksi atau keterangan korban saja ditambah satu alat bukti yang sah dan keyakinan hakim sudah cukup meyakinkan bahwa suatu tindak pidan aitu sudah terjadi,” jelasnya.
Kemudian, sambungnya, ada ketentuan-ketentuan perluasan mengenai alat bukti misalnya keterangan saksi yang tidak melihat langsung, tidak mendengar langsung, atau tidak mengalami langsung yang disesuaikan ketentuan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Mengenai ketentuan visum et repertum, Dr. Dewi Bunga mengakui dalam KUHAP tidak disebutkan secara langsung. Tetapi dalam Pasal 133 KUHAP, penyidik dapat meminta bantuan ahli dalam hal terjadinya luka, meninggal dunia, atau keracunan.
“Ahli ini antara lain kedokteran kehakiman, dokter, atau ahli lainnya,” jelas pakar hukum pidana dari Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa, Denpasar, ini.
Sedangkan mengenai penetapan tersangka, ia berpendapat bahwa prosesnya dikembalikan lagi ke Peraturan MK yang tertuju pada Pasal 184 KUHAP.
Sementara itu, I Wayan Kota dari Bidkum Polda Bali menjelaskan bahwa dihadirkannya ahli pidana dari UHN I Gusti Bagus Sugriwa tersebut bertujuan untuk menguatkan dalil-dalil yang telah disampaikan dalam jawaban pihaknya.
“Memastikan bahwa penetapan status tersangka sudah prosedural dan sah secara hukum,” jelas Kota.
Begitu juga mengenai alat bukti, sambungnya sudah saling bersesuaian baik itu keterangan saksi, bukti-bukti surat, serta keterangan ahli. Semuanya telah sesuai dengan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS.
“Secara umum diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang kemudian diperluas ke dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang TPKS,” tegasnya.
Selain mengulas soal alat bukti dan proses penetapan tersangka, sidang hari ini juga sempat membahas soal kemunculan SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan). Sebagaimana yang sempat dipertanyakan oleh kuasa hukum Jero Dasaran Alit yakni I Kadek Agus Mulyawan.
Alasannya, dalam proses yang dijalani kliennya, SPDP justru keluar setelah ada surat penetapan tersangka. “Ini Sprin Sidik keluar, Surat Penetapan Tersangka, setelah beberapa hari baru keluar SPDP. Normatifnya tidak ada,” tukasnya usai sidang.
Sidang praperadilan yang diajukan Jero Dasaran Alit ini akan berlanjut pada Rabu (1/11) mendatang dengan dua agenda yakni pembacaan kesimpulan dan putusan oleh hakim. (c/kb)