Sibuk Bersolek Tapi Lupa Wajah Asli
'Topeng' Teater Selem Putih Tampil di Panggung FSBJ 2025

DENPASAR, Kilasbali.com – Pementasan bertajuk Topeng persembahan Teater Selem Putih menjadi sajian teater yang menggugah dalam ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) ke-7 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu (20/7/2025). Disutradarai sekaligus ditulis oleh Putu Satria Kusuma, karya ini tampil sebagai tontonan sekaligus tuntunan yang penuh sindiran sosial.
Disaksikan langsung Gubernur Bali Wayan Koster dan istri Ny. Putri Suastini Koster, pementasan ini berhasil mencuri perhatian karena menyuguhkan kritik sosial yang tajam, satir, dan menyentil. Lewat pendekatan simbolik dan teatrikal, “Topeng” membongkar kenyataan hidup masyarakat modern yang sering bersembunyi di balik kepura-puraan.
Pertunjukan dibuka dengan kalimat “Di mana Topeng Ibu?”—sebuah simbol kehilangan jati diri. Adegan demi adegan menghadirkan realitas yang akrab namun mengganggu: warga yang sibuk dengan gawai, ketamakan kapitalis yang mengincar tanah warisan, hingga absurditas membakar topeng sakral hanya untuk memanggang ikan saat nobar Piala Dunia.
Gambaran tokoh investor yang tampil seperti badut modern, serta rayuan absurd menjual tanah dengan iming-iming kekayaan dan perempuan cantik, menjadi kritik pedas terhadap wajah licik kapitalisme. Namun di balik kelucuan, terselip kegelisahan sosial yang begitu nyata.
Salah satu momen paling menyentuh adalah kehadiran sosok ringkih dengan suara lirih yang justru mencuri perhatian. Ia menjadi simbol kejujuran di tengah hiruk-pikuk kepalsuan.
Pementasan ditutup dengan aksi teatrikal para pemain yang turun ke penonton sambil menyerukan “Buka Topengmu!”—sebuah seruan agar masyarakat berani menghadapi realita tanpa kepura-puraan.
“Ini bukan sekadar pertunjukan, tapi juga ajakan untuk kembali ke akar, kembali pada kejujuran,” kata Putu Satria usai pementasan. Ia menyebut TOPENG sebagai respons atas realitas hari ini, yang sarat dengan kepalsuan dan pencitraan.
Lewat karya ini, Putu Satria kembali mengukuhkan kiprahnya sebagai sutradara teater kritis dari Bali Utara yang terus menyuarakan nurani. Ia berharap geliat teater seperti ini bisa menyebar ke seluruh Bali, tidak hanya sebagai hiburan, tapi sebagai ruang refleksi sosial.
Topeng bukan sekadar cerita panggung. Ia adalah cermin yang menampar. Dan saat lampu padam, penonton tak hanya membawa tepuk tangan pulang—tapi juga kegelisahan: “Topeng apa yang masih aku kenakan hari ini?”