MANGUPURA, Kilasbali.com – Desa Kapal, Kelurahan Kapal, Mengwi, Badung melaksanakan tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon atau dikenal dengan Perang Tipat Bantal, di Depan Pura Desa Lan Puseh, Kapal, Badung, Kamis (17/10).
Aci Tabuh Rah Pengangon, wajib dilaksanakan setiap tahun berdasarkan kalender Bali (Sasih), tepatnya pada Purnama Kapat. Ritual tersebut, merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat Desa Kapal kepada Tuhan atas kesejahteraan, berlimpahnya hasil panen dan terhindar dari berbagai macam bencana.
Disamping itu, tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon sudah dilaksanakan sebanyak 685 kali hingga saat ini.
Keunikan tradisi perang tipat yaitu, seluruh warga Desa Adat Kapal baik anak-anak, pemuda serta orang tua, dibagi menjadi dua kelompok dan saling melemparkan tipat bantal seolah-olah terjadi perang.
Tidak hanya warga lokal, wisatawan maupun pengunjung dari luar Desa juga dapat berpartisipasi dalam meriahnya ritual tersebut.
Kelihan Desa Adat Kapal, I Ketut Sudarsana menuturkan bahwa tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon bermula pada tahun 1339 saat kedatangan patih Ki Kebo Iwa yang diutus oleh Raja Bali untuk merestorasi Pura Puru Sada di Desa Kapal.
Sudarsana menuturkan, tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon (Perang Tipat Bantal) berawal dari tahun 1339, yaitu di bawah pemerintahan Raja Bali dikala itu yakni, Sri Asta Sura Bumi Banten yang mengutus patihnya bernama Ki Kebo Iwa dari Blahbatuh untuk merestorasi Pura Puru Sada di Desa Kapal.
Setibanya Patih Kebo Iwa bersama rombongan di Desa Kapal, Ia melihat Desa sedang mengalami musim paceklik atau gagal panen, yang dimana pada saat itu masyarakat hidup hanya mengandalkan hasil panen.
Melihat hal tersebut, patih Kebo Iwa merasa kasihan kepada masyarakat Desa Kapal dan segera memohon kepada Bhatara yang berstana di Pura Puru Sada untuk mencari solusi dalam permasalahan tersebut.
“Kebo Iwa kemudian mendapatkan jawaban dari angkasa untuk melaksanakan upakara Aci Tabuh Rah Pengangon,” tutur Ketut Sudarsana.
Ia juga menjelaskan, makna dari Aci Tabuh Rah Pengangon adalah, untuk memohon kepada Bhatara Siwa untuk diturunkan sumber kehidupan.
“Aci Tabuh Rah Pengangon berasal dari kata, Aci (Persembahan), Tabuh (Turun atau Jatuh), Rah (Sumber Kehidupan) dan Pengangon (Nama lain Bhatara Siwa), yang diartikan sebagai bentuk permohonan kepada Bhatara Siwa agar diturunkan sumber kehidupan untuk masyarakat Desa Kapal,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ketut sudarsana mengatakan, tipat dan bantal memiliki filosofi seperti, tipat (Nasi dibalut dengan daun kelapa) dan melambangkan unsur pradana, sedangkan bantal (ketan dibalut daun kelapa) yang melambangkan unsur purusa.
Diyakini jika kedua unsur tersebut bertemu, akan menghasilkan kehidupan yang baru seperti, sumber energi dari pangan dan kemakmuran untuk masyarakat Desa Kapal.
Ketut Sudarsana menyatakan, jika tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon tidak dilaksanakan di Desa Kapal, dipastikan dapat menimbulkan paceklik di masa mendatang.
“Untuk kedepannya agar generasi muda Desa Adat Kapal, tetap mempertahankan upacara Aci Tabuh Rah Pengangon. Apabila tradisi ini tidak dilaksanakan, diyakini Desa Kapal kembali terkena musim paceklik,” ujarnya.
Melalui tradisi ini akan menumbuhkan rasa solidaritas antar sesama masyarakat maupun banjar yang ada di lingkungan Desa Adat Kapal. Selain solidaritas, kreativitas dan UMKM masyarakat pun turut tumbuh. (pbng/kb)