Denpasar

‘’Memandang Laut di Lamalera’’ Lewat Puisi, Lukisan, Tari dan Teater

    DENPASAR, Kilasbali.com – Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, disesaki apresiator seni modern, Kamis 20 Juli 2022, mulai pukul 18.00 Wita. Saat itu, Sanggar Lopo Gaharu, NTT tampil mempersembahkan karya berjuluk “Memandang Laut Lamalera“ yang disutradarai dr. Dewa Sahadewa.

    Pementasan itu mewarnai ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) V tahun 2023. Pementasan dibuka dengan respons dua maestro perupa Bali Made Kaek dan Made Sumadiyasa akan energi lautan, suara tetabuhan dan angin, musik yang digarap Putu Yoga Nandana bersama grup Etnocoustic, memberi sentuhan yang beda tanpa meninggalkan aura gong NTT.

    Made Sumadiyasa, perupa kenamaan asal Tabanan merespons dengan melukis di atas kanvas. Pelukis lulusan ISI Yogyakarta itu menarikan kuasnya di bidang kanvas dengan lincah. Sapuan dan cipratan warnanya, menghasilkan karya yang elegan, sepertinya berbicara tentang laut biru pesisir Lamanera yang dihuni banyak ikan paus.

    Suara musik menggelorakan semangat nelayan, direspons dengan sapuan dan cipratan car air oleh Made Sumadiyasa. Demikian juga ritme musik yang memukau, direspons dramatik oleh perupa Made Kaek, dengan semburan cat semprot dan sapuan warna pada media seng. Gerakan melukis pada media seng itu menghasilkan suara bergemuruh, menggambarkan suara ombak laut Lamalera.

    Baca Juga:  Dua Desa asal Bali ini Tampil di  The 2nd UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium

    Begitu perupa menyelesaikan atraksinya, tampil dua penari menggambarkan suasana desa nelayan dan ritual persiapan musim Lewa, di mana sora atau kerbau bertanduk emas yang telah beralih rupa menjadi ikan paus muncul.

    Kemudian penata Tari, Sivani Kinanti Astawa merespons puisi tentang penangkapan paus dengan segala dilemanya dengan sangat baik. Sehingga puisi yang dibacakan oleh dr. Dewa Sahadewa dan Kyrie mampu menyatu dengan suasana dan atraksi yang menggambarkan penombakan ikan paus secara tradisional di Laut Lamalera.

    Para nelayan di daerah ini terkenal secara turun temurun memiliki keahlian menangkap paus secara tradisional. Pengaruh modernisasi, tuntutan kehidupan masa kini, serta konflik antara mencintai lautan yang penuh kecintaan akan tradisi di satu sisi, dengan keinginan untuk menjalankan kehidupan modern yang lebih berorientasi pada industri, memunggungi lautan.

    Baca Juga:  Bawaslu Gianyar Diminta Laksanakan Fungsi CAT

    Siapakah yang akan memenangkan konflik batin yang terus mengganggu pikiran dan perasan sosok para nelayan yang digambarkan dalam puisi, musik, gerak tari dan teaterikal?
    Bagi warga Lamalera, laut biru adalah kebun luas, berkah kehidupan.

    Sora dalam bahasa Lamalera adalah panggilan untuk kerbau bertanduk emas yang dipercaya menjelma sebagai paus atau biasa disebut knato/koteklema. Sora merupakan berkah yang dikirim oleh Latahala dan leluhur bagi anak cucu mereka di Lamalera.

    Dalam rangkaian upacara Ia Gerek, Tobu Name Fatta, Misa Arwah dan Misa Lefa, para pria atau lefa alep akan mengeluarkan perahu besar atau pledang praso untuk mengambil berkah yang dikirimkan oleh para leluhur. Selanjutnya, kembali dan merayakan Sere Moti bersama masyarakat, sebagai tanda dimulainya musim penangkapan.

    Baca Juga:  Persewangi VS Bali United, Laskar Blambangan Hadapi Tantangan Tim Lebih Kuat

    Kemudian, para wanita atau peneta alep bertugas mengolah hasil laut, serta melakukan proses penetang atau barter. Penetang adalah buah dari janji antara masyarakat Lamalera dan masyarakat gunung untuk saling bertukar hasil laut dan hasil gunung.

    Penetang ini hingga sekarang masih bertahan sebagai salah satu pasar barter yang tersisa di dunia.

    Pertunjukan ini sukses memadukan seni teater musik, lukis dan tari dalam ruang interaksi nan apik. Lewat penampilan karya ini, penonton disuguhkan gambaran imaginer kehidupan di satu desa nelayan di pesisir Lembata NTT. (rl/kb)

    Back to top button

    Berita ini dilindungi