DENPASAR, Kilasbali.com – Penampilan partisipan dari Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Kabupaten Lampung Tengah dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 menyedot perhatian penonton. Sebanyak enam tarian, yakni Tari Sembah, Tari Jurai Emas, Tari Sakit Kedis, Tari Lijung, Tari Bedana, dan Tari Bala dipersembahkan dalam pementasan yang berlangsung di kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya, Denpasar, Senin siang (1/7/2019).
Kordinator pementasan tari dan musik tradisional Lampung, Ni Wayan Desi Hermawati (45) mengatakan, penampilan WHDI ini bukanlah yang pertama dalam PKB.
“Untuk pementasan kali ini, kami melakukan persiapan sekitar enam bulan untuk pemantapannya. Sebelumnya kan memang sudah latihan seperti biasa ya. Tapi untuk pemantapan persiapan PKB ini dilakukan dari enam bulan yang lalu. Sama seperti tampil biasanya, jadi ya latihan lalu busana untuk penari dan penyanyi juga,” katanya.
Menurut Desi, alasan utama menampilkan pertunjukan ini di Pesta Kesenian Bali ialah untuk memperkenalkan seni Lampung, dan sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat Bali yang bertransmigrasi di Lampung diterima dengan baik.
Lebih lanjut mengatakan, bahwa melalui seni budaya dapat mempererat persaudaraan krama Bali dengan masyarakat lokal Lampung.
Dalam pementasan tersebut, diawali dengan Tari Sembah sebagai tari pembuka pementasan yang dipadati ratusan penonton ini. Liukan sang penari mampu menyedot perhatian penonton.
Tari-tari berikutnya seperti tari Tari Jurai Emas, Tari Sakit Kedis, Tari Lijung dan Tari Bedana juga memikat penonton. Tak heran setiap akhir tarian tepukan tangan penonton selalu membahana. “Yang pertama pasti lega terus juga bangga dapat menampilkan tarian kita dari Lampung. Jadi dapat memperkenalkan tarian-tarian kita,”ujar seorang penari, Made Pusparini (16).
Adapun tari pamungkas adalah Tari Bala yang membuat penonton penasaran. Tari Bala ini tak kalah unik dengan tarian lain. Tari Bala merupakan singkatan dari Bali dan Lampung. “Tari Bala merupakan karya tari kolaborasi daerah Bali dan Lampung yang ditarikan oleh lima orang wanita dengan karakter tari laki-laki,” jelas Desi.
Masih menurut Desi, Tari Bala menjadi bukti bahwa perbedaan tak menjadi alasan untuk terpecah belah. Bala juga dapat berarti pasukan perang, karena Bala merupakan karakter keprajuritan. ”Tari Bala ini digarap pada saat Darma Santi Nyepi Nasional di Kota Metro Lampung pada tahun 1995 yang saat itu dihadiri oleh Presiden Soeharto,” terang Desi.
Selain keenam tarian-tarian tersebut, nyanyian khas Lampung tak lupa ditampilkan untuk menghibur para penonton. Suara merdu dari para penyanyi membuat para penonton hanyut dalam nyanyiannya. (kb)