GIANYAR, Kilasbali.com – Krama adat menerima sanksi Kanorayang di Desa Adat Taro Kelod, Desa Taro Tegallalang, Gianyar, menyita banyak perhatian. Terlebih, pengenaan sanksi ini bermuara dari sengketa lahan dalam perkara perdata. Dimana Jero Mangku Warka yang berhasik mempertahankan lahan leluhurnya hingga tingkat banding, justru harus menerima pil pahit berupa sanksi Kanorayang (kesepekan).
Kondisi inipun membuat Kantor Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Bali turun tangan untuk mengantiasipasi adanya unsur pelanggaran HAM.
Rabu (19/1), Kemenkumham Bali turun ke Taro, dan mencoba memediasi kedua belah pihak, yakni prajuru adat dan keluarga Jero Mangku di Kantor Desa setempat.
Pada kesempatan itu, Kepala Bidang HAM Kemenkumham Bali, Rita Rusmarti menegaskan kedatangan untuk mendapat keterangan dari Prajuru Adat dan pihak terkait.
Hal ini dilakukan dalam menindaklanjuti laporan keluarga Mangku Ketut Warka. Di mana warga yang merasa terindikasi haknya terlanggar dipersilahkan mengaku dan akan ditindaklanjuti.
“Kami menerima aduan atas dugaan diskriminasi yang dimaksud yakni dibebaskan dari hak dan kewajiban sebagai Krama adat, berhenti sebagai pemangku, diputus sambungan air swadaya, penutupan saluran irigasi, hingga pelarangan membuat sumur bor. Aduan inilah yang kami pastikan ke prajuru,” paparnya.
Ditegaskan pula, Kemenkumham tidak pada posisi sebagai pemutus. Namun pihaknya wajib mendapatkan penjelasan dari Prajuru, Rita mengaku belum bisa memutuskan.
“Beberapa keinginan dari desa adat kami sudah catat. Selanjutnya akan disinkonisasi dengan keluarga yang kena sanksi adat,” katanya.
Pada kesempatan itu, Bendesa Adat Taro Kelod I Ketut Subawa menegaskan bahwa berhentinya Ketut Warka sebagai Pemangku Pura Puseh Desa Adat Taro Kelod adalah keinginan I Ketut Warka sendiri.
Sedangkan terkait sanksi kanorayang, kata Subawa tak seseram yang dibayangkan. “Dalam sanksi itu, krama ini hanya dibebaskan dari hak dan kewajibannya sejak Tahun 2019,” katanya.
Dibenarkan pula jika desa adat telah memutus saluran air swadaya dan irigasi. Polemik ini diakui sudah membuat situasi di Desa Adat Taro kurang nyaman. Terlebih di Desa Taro yang sudah cukup dikenal dengan beragam prestasi bidang lingkungan. “Jika krama ini mengakui kesalahannya, kami pastikan bergabung kembali dengan krama lainnya,” yakinnya.
Sebelumnya keluarga Jro Mangku I Ketut Warka, mantan pamangku Pura Puseh, Desa Adat Taro Kelod, diganjar sanksi adat. Sanksi ini berawal ketika krama ini memperjuangkan kepemilikan tanahnya hingga dua kali menang perkara di pengadilan tingkat banding.
Namun tanpa dinyana keluarga Jro Mangku Warka dikenai saksi adat, bahkan aliran air ke rumah dan sawahnya diputus. Jro Mangku Warka juga diberhentikan sebagai pemangku Pura Puseh.
Disebutkan, saat hendak mengeksekusi tanah tersebut, pihak Desa Adat Taro Kelod masuk. Jro Mangku Warka mengatakan, desa adat mengklaim bahwa dari 21 are tanah tersebut, 8 are di antaranya merupakan Pekarangan Desa (PKD).
Hingga akhirnya desa adat menggugat di pengadilan namun putusannya, permohonan desa adat tidak diterima. Atas putusan itupula keluarganya dikenakan sanksi adat sejak tahun 2019. (ina/kb)