TABANAN, Kilasbali.com – Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Tabanan telah mengimbau kepada peternak babi di Desa Jegu untuk sementara berhenti memelihara babi hingga masalah kematian masal sekitar 50 babi ini selesai.
Hal tersebut diungkapkan salah seorang peternak babi Banjar Ngis Kaja, Made Sumardia yang juga merupakan kepala wilayah (klian banjar) banjar ini, Kamis (23/1/2020).
Dikatakannya, himbauan itu setelah Dinas Pertanian Tabanan melalui Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan mengumumkan hasil uji laboratorium sampel darah babi yang ada di Desa Jegu, pada Selasa (21/1/2020) lalu.
Menurutnya, dari beberapa sampel yang diambil, ada dua sampel yang positif terjangkit virus ASF.
Dikatakannya, sampel itu diambil 12 Januari lalu, dan hasilnya sudah diumumkan dua hari lalu (Selasa), oleh kabid peternakan ada dua sampel yang positif ASF.
“Satu sampel negatif, tapi mungkin kalau yang negatif ini sekarang diuji lab lagi mungkin hasilnya positif karena babi yang negatif gejalanya sudah ada,” tuturnya, Kamis (23/1/2020).
Sumardia menuturkan, hingga saat ini kondisi masyarakat di desa Jegu masih gelisah terkait dengan isu ini.
Pasalnya di beberapa banjar Desa Jegu seperti Baniar Ngis Kaja, Ngis Kelod, Bendul dan Jegu Tegal hampir tidak ada lagi yang memiliki babi.
Babi-babi yang masih sehat itu rata-rta telah dijual dengan harga tidak wajar dengan harga perekor antara Rp300 sampai 500 ribu saja.
“Sudah 99 persen babi di banjar-banjar itu habis dijual. Kalau yang masih itu karena kondisinya sakit. Karena kalau kondisi sakit dijual, gak ada yang mau beli,” ungkap Sumardia.
Sumardia menambahkan, dugaan virus itu muncul berawal dari Banjar Bendul Desa Jegu. Menurut prediksinya, penyebaran virus ASF ini dari lalat.
Gejala awal babi yang terindikasi terjangkit virus ASF itu antara lain kaki bagian belakang lumpuh, tidak mau makan dan hanya minum air serta muncul bintik-bintik hitam di bagian bawah telinga dan dikerumuti lalat. (*/KB)