DENPASAR, Kilasbali.com – Keindahan alam dan ragam budaya yang dimiliki Bali menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara untuk berlibur ke Pulau Dewata ini.
Tak hanya itu, Bali yang mengusung tagline ‘Pariwisata Budaya’ juga terus berkembang dengan terbangun berbagai destinasi penunjang atau pelengkap lainnya. Baik itu beach club, watersport, taman safari, maupun wisata buatan lainnya. Semua itu sebagai pelengkap dari Pariwisata Budaya Bali.
Hal inipun menjadikan Bali sebagai destinasi wisata paling bahagia di dunia. Hasil dari salah satu survei menyebut, hampir 75 persen memilih berlibur ke Bali.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun mengatakan, budaya Bali adalah bagian hidup dari masyarakat Bali, yang terus dilestarikan oleh masyarakat yang selanjutnya secara tidak langsung menjadi daya tarik wisata yang menghasilkan kunjungan pariwisata.
“Jadi ada dan tidak ada pariwisata, masyarakat Bali akan tetap melaksanakan dan melestarikan budaya yang dimiliki. Jika Pariwisata berkembang akibat budaya, maka itu adalah bonus,” katanya.
Semua potensi daya tarik wisata yang ada di Bali saat ini tidak lepas dari bungkusan budaya Bali, seperti contoh, indahnya pantai di Bali, bukan hanya karena pasir dan ombaknya, karena hal itu ada di ada di mana-mana di seluruh dunia, yang menjadi menarik adalah adanya kegiatan budaya Bali di Bali, seperti melasti, nyegara gunung dan lain-lain.
Begitu juga Indahnya persawahan di Bali, menjadi lebih unik ketika ada upacara, dan kegiatan-kegiatan budaya lainnya yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali. Itulah uniknya Bali.
“Kalau ada beach club yang sekarang lagi booming, itu hanya sebagai penunjang pariwisata. Kami di Bali tetap mengusung konsep pariwisata budaya,” jelasnya.
Tjok Bagus mencontohkan salah satu pariwisata budaya tersebut. Ketika wisatawan ke Bali jalan-jalan melihat adanya upacara adat, maka itu adalah budaya yang disuguhkan Bali.
“Jadi jangan dibalik. Bukan pariwisata yang menghidupkan budaya, tapi budayalah yang menghidupkan pariwisata,” tegasnya.
Pihaknya juga menjelaskan terkait beach club. Menurutnya, ini adalah istilah baru sebagai sarana promosi yang dilakukan pelaku industri pariwisata, tetapi sebenarnya sesuai perizinan yang ada di dalam beach club itu adalah restoran, bar dan diskotik.
Karena, lanjut dia, di dalam beach club itu yang ada adalah restoran, bar, maupun klub malam. “Beach club ini dibuat khusus satu kawasan, dan juga disajikan sebagai pelengkap pariwisata budaya,” jelasnya.
Menurutnya, budaya Bali terus bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman. Jika dahulu rumah – rumah penduduk terbuat dari tanah, namun sekarang dibangun dengan tembok.
Kendati demikian, arsitektur tetap dengan tradisional Bali. Baik itu tata letak rumah, hingga hiasan ukiran Bali.
“Budaya itu menjadi kehidupan yang dilakukan sehari-hari oleh masyarakat Bali. Sedangkan pariwisata itu adalah bonus dari pelestarian yang dilakukan masyarakat,” bebernya.
Seiring dengan perkembangan zaman, budaya Bali bukannya terdegradasi, namun berkembang.
Misalnya zaman dahulu sulit mencari penari dan jarang ada pementasan tari-tarian saat upacara di pura, namun anak-anak sekarang sudah banyak yang bisa menari. Tarian pun menjadi hal wajib setiap ada upacara.
Hal ini dikarenakan banyaknya sangar yang ada, sehingga lebih mudah dalam belajar menari maupun mempelajari seni lainnya.
“Dahulu juga sulit mencari tukang gambel, namun sekarang sekaa teruna teruni sebagian besar bisa mengambel dan menari,” tandasnya.
Tjok Bagus juga mengimbau dan mengingatkan semua pihak, baik itu pelaku pariwisata, stakeholder, dan juga seluruh masyarakat Bali untuk bijak dalam bermedia sosial, saring sebelum sharing. Mengingat, pariwisata sangat rentan terhadap isu negatif.
Karena, isu negatif yang diunggah ke media sosial jika viral, maka itu akan berpengaruh terhadap citra pariwisata itu sendiri. Yang juga berdampak pada tingkat kunjungan wisata. Di sisi lain, negara competitor juga terus berbenah.
Tidak menutup kemungkinan mereka juga akan memanfaatkan isu-isu yang didapatkan di media sosial untuk menjatuhkan Bali, sehingga wisatawan merasa tidak nyaman dan mengalihkan libur mereka ke negara lain. (jus/kb)