TABANAN, Kilasbali.com – Sebagai wujud rasa syukur kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, umat Hindu di Bali melaksanakan ‘ngelawar’ di hari Penampahan Galungan yang datangnya setiap 210 hari sekali.
Hari Penampahan Galungan dilaksanakan pada hari Selasa Wage, wuku Dungulan sesuai dengan perhitungan kalender Bali, yang mana hari tersebut adalah sehari sebelum hari raya Galungan yang diselenggarakan pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan.
Seperti halnya pada hari Selasa tanggal 24 September 2024 masyarakat di Bali melaksanakan “ngelawar” di rumah/tempat tinggal masing-masing keluarga. Tradisi ngelawar ini telah berlangsung sejak zaman dahulu dan berlangsung secara turun temurun.
“Ngelawar”, adalah membuat masakan berupa daging dicampur dengan bahan sayur/buah tertentu, seperti “klungah” yaitu buah kelapa yang sangat muda sekali diambil batoknya, direbus dan diiris kecil-kecil, kemudian dicampur dengan berbagai bumbu rempah yang lengkap.
Selain itu, ada juga yang menggunakan bahan sayur lawar berupa buah pepaya muda, nangka dan buah pisang batu muda, serta sayur buah kacang panjang. Sementara untuk daging yang dicampurkan di dalam lawar tersebut berupa daging ayam, Babi dan kerbau.
Selain membuat lawar masyarakat Hindu di Bali juga membuat Sate lilit berupa adonan sate yang terbuat dari Ayam maupun bebek. Ada juga menggunakan adonan sate dari Ikan Laut.
Tradisi ngelawar yang dilakukan pada hari penampahan Galungan ini adalah merupakan bentuk wujud syukur atas kemuliaan anugerah Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan keselamatan dunia/jagat dan segala isinya.
Demikian pula hal sebagai bentuk peringatan kemenangan Dharma melawan Adharma yang mana puncaknya dilakukan pada hari Galungan dengan melakukan persembahyangan di pura/tempat suci, sanggah/merajan masing-masing keluarga.
Setelah pembuatan lawar selesai akan disajikan terlebih dahulu kepada para dewa/Dewi, betara/betari dengan menghaturkan sesaji berupa punjung rayunan atau berupa canang buratwangi yang disertai dengan lawar dan juga sate.
Selain membuat lawar di hari Penampahan Galungan ini juga dilakukan silaturahmi antara keluarga yang masih ada hubungan dengan membawa sesaji berupa punjung.
Terutama yang masih ada hubungan ambil – mengambil dalam arti leluhurnya masih ada kekerabatan, silaturahmi ini pun diwujudkan dengan cara membawa Punjung.
Di beberapa tempat mungkin ada perbedaan pelaksanaan perayaan penampahan Galungan, hal ini disebabkan di Bali menganut sistem desa, kala, patra, yaitu menyesuaikan dengan ketentuan pada suatu wilayah. (*)
Penulis; AKP Purnawirawan I Nyoman Subagia, S.Sos., pengamat budaya.