DENPASAR, Kilasbali.com – Nah, ini yang menarik dalam sajian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI di hari ketiga, Senin (17/6/2024). Permainan gender wayang yang disajikan anak-anak setingkat SMP, begitu memikat hati.
Penampilan gender wayang anak-anak ini memang tanpa wayang, tetapi mereka mampu mengolah dan menyajikan dengan kreatif, sehingga menjadi pertunjukan seni yang memang menarik untuk ditonton.
Maklum, saat itu mereka tampil dalam Wimbakara (Lomba) Gender Wayang, sehingga semuanya menampilkan yang terbaik. Ada tiga sekaa gender wayang anak-anak merupakan duta dari Kabupaten Jembrana, Badung dan Kabupaten Bangli. Ketiga duta seni ini tampil dengan teknik dan gaya daerahnya masing-masing, sehingga semua duta memiliki kelebihan.
Setiap bilah yang dimainkan mengundang decak kagum penonton. Aksi para penabuh cilik ini menjadi daya tarik pengunjung, sehingga tempat pentas itu penuh sesak. Mereka menyajikan karakter gending wayang dari daerahnya sendiri, namun sudah mendapat olahan kreasi dari para pembina masing-masing, sehingga menjadi gending yang lebih manis dan menarik.
Cara menyajikan juga berbeda yang dapat disaksikan lewat gaya, ekspresi, dan tingkat permainnya, namun tetap menarik. “Perkembangan gender wayang anak-anak mencapai peningkatan yang sangat bagus. Mereka membawakan dengan pencapaian teknik yang bagus. Itu bisa dilihat dari cara membawakan gending yang penuh rasa,” kata salah satu dewan juri I Gusti Sudarta.
Pencapaian peningkatan gender wayang memang terjadi di seluruh kabupaten dan kota di Bali, namun perkembangannya begitu cepat terjadi di daerah Kabupaten Badung, Gianyar, Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan. Alih generasi di empat daerah ini hampir terjadi disetiap tahunnya. Sebab, yang tampil selalu penabuh-penabuh baru dengan wajah baru serta tampil dengan konsep yang baru pula.
“Jadi menariknya, beberapa tahun belakangan ini terus ada peningkatan. Artinya, ada cross style, repotuar gending wayang. Sebut saja, style Karangasem dipelajari oleh penabuh-penabuh dari daerah lain. Ini cara yang unik untuk mengenal daerah lain. Demikian pula khas Gianyar, khas Badung yang bisa dipelajari oleh daerah lain,” papar dosen Seni Pertunjukan ISI Denpasar ini.
Sementara Prof. I Made Bandem mengatakan, dalam PKB itu ada pemerataan sekaa, komunitas yang tampil di ajang seni tahunan ini mendapat kesempatan unjuk kebolehan. Kantong-kantong seni budaya mereka dibina dan harus hidup. Itu sesuai dengan setrategi PKB yaitu pemerataan, secara vertikal yang selalu memberi kesempatan bagi sekaa atau sanggar untuk menampilkan karya dan kemampuan seni mereka meraih prestasi dalam perlombaan.
Tampilnya gender wayang ini, lanjut budayawan asal Gianyar ini, sebuah strategi vertikal karena kualitas harus dicapai. “Saya menyaksikan kuratorial Gender Wayang sangat unik, dan sangat atraktif. Gender Wayang bisa menggambarkan lagu-lagu jenis pertunjukan wayang kulit. Teknik permainan mereka juga sangat bagus,” ujar Prof. Bandem.
Menurutnya, ini merupakan puncak penampilan dan dilombakan, sehingga ada bagian-bagian seni pewayangan yang harus dipahami dan disampaikan kepada mereka. Gender Wayang ini, pada umumnya untuk mengiringi pementasan wayang kulit. Para penabuh dari setiap kabupaten dan kota di Bali ini harus memahami cerita wayang, seperti bagaimana mengiringi kayonan, dan perang beratha, selain memahami teknik.
Prof. Bandem mengakui semua peserta yang tampil itu memiliki gaya yang unik. Sebut saja duta Kabupaten Bangli memiliki gaya yang beda yang diperkenalkan oleh dalang senior. Badung mempunyai tradisi wayang wong ada di Desa Bualu, dan yang kebetulan perwakilan Kuta Selatan tampil saat ini.
Demikian juga Jembrana memiliki Dalang yang hebat sejak jaman dulu. “Ada cross style yang mesti terus dilindungi, dilestarikan dan terus digelar lomba dari desa, ke kabupaten hingga ke provinsi,” tandasnya. (rls/kb)