GianyarHukum

Terkait Status Lahan Pasar Gianyar, Desa Adat Gianyar Mohon Ini ke Polda Bali

GIANYAR, Kilasbali.com – Desa Adat Gianyar yang dikomandoi Bendesanya Dewa Gede Swardana rupanya tidak mau putus asa untuk memperjuangkan sebagian lahan yang kini sedang dibangun Proyek Pasar Umum Gianyar.

Setelah bersurat ke BPN Gianyar, Desa Adat Gianyar, Kabupaten Gianyar, kini meminta perlindungan hukum pada Kapolda Bali, Irjen Pol Putu Jayan Danu Putra.

Bendesa Adat Gianyar, Dewa Made Swardana, Rabu (10/2/2021) membenarkan jika pihaknya telah mengajukan perlindungan hukum. Permohonan ini disampikan melalui surat yang langsung diserahkan pada Kapolda Bali dua hari lalu. Latar belakang perlindungan hukum ini, diakui juga terkait tanah PKD (pekarangan desa) di Pasar Umum Gianyar.

Bendesa yang juga bawahan Bupati Gianyar ini membeberkan, sebelum tanah tersebut menjadi Pasar Umum Gianyar, pada tahun 1947 warga yang sebelumnya berjualan di Pasar Tenten (sekarang menjadi Bale Budaya Gianyar), dipindahkan ke lokasi saat ini, dengan tujuan memperluas pasar.

Baca Juga:  Cuaca Ekstrim, Ini Tujuan Satpol PP Bali Bongkar Baliho

“Saat pindah ke lokasi saat ini, ada 16 KK yg dipindahkan oleh desa adat ke daerah Kampung Tinggi, warga itu diberikan tanah oleh Desa Adat Gianyar,” ungkapnya.

Lanjut itu, tahun 1976-1977, pemerintahan Bupati Anak Agung Putra (periode 1969-1983), pada zaman itu lagi diperluas dengan mengambil lokasi di selatan pasar. Saat itu ada 10 KK dipindahkan ke jalan Majapahit. Dalam perjalanannya, pasar adat ini lantas dipinjam oleh Pemda Gianyar menjadi Pasar Gianyar.

“Tanahnya tetap milik adat, tapi bangunannya milik pemerintah. Permasalahan muncul saat masa Bupati Gianyar, Made Mahayastra saat ini. Oleh Pemkab Gianyar, tanah adat tersebut dimasukkan ke dalam Kartu Inventaris Barang (KIB). Seharusnya yang masuk KIB itu kan hanya bangunannya saja,” tegasnya.

Mirisnya lagi, kata Dewa, tanah desa adat tersebut diklaim bahwa itu adalah tanah negara. Padahal Bupati sebelumnya tidak seperti itu. Di mana adanya tanah adat, makanya ada MoU parkir sengol. “Ada perjanjiannya. Karena kita punya tanah PKD di sana, supaya ada rasa terimakasih Pemda pada desa adat makanya diberikan MoU pendapatan parkir sengol pembagiannya 65 persen persen untuk desa adat,” terangnya.

Baca Juga:  DTW Ulundanu Beratan Siapkan Parade Budaya Selama Libur Nataru 2024

Terkait perlindungan hukum yang dimaksud, Dewa Swardana menjelaskan, Desa Adat Gianyar saat ini akan melaksanakan program Presiden Jokowi, yakni Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan objek tanah Pasar Umum Gianyar ini. Namun pada saat yang sama, Pemda justru mengajukan permohonan hak guna pakai atas tanah itu. Karena ini adalah permohonan dalam 1 lokasi, pihaknya tidak bisa melaksanakan PTSL. “Kita desa adat sudah bersurat ke BPN, merasa keberatan masalah permohonan dari Pemda,” tambahnya.

“Seharusnya, desa adat dipersilahkan mensertifikatkan dan nantinya kalau Pemkab ingin mengajukan hak guna pakai tanah desa adat itu, pasti ada sokusinya,” ujarnya.

Baca Juga:  Pemprov Bali ‘Ngerombo’ Serahkan Bantuan Sosial kepada Masyarakat Desa Mayong

Pihaknya menilai Pemda arogansi. Sebab mereka tidak mau mencabut permohonan tersebut. “Ini justrilu Pemkab mengklaim bahwa itu adalah tanah Puri Agung Gianyar. Mereka tak memahami sejarahnya,” terangnya lantang.

Terkait permasalahan ini, pihaknya pun akan melanjutkan hingga ke tingkat manapun. Karena di BPN tak boleh mengajukan (PTSL dan HGP) pada 1 lokasi, persoalan ini meningkat ke klaster 2. BPN sudah melakukan mediasi antara pemkab dan desa adat, tapi mediasi pertama itu Pemkab tak mau hadir. Malahan ada surat terakhir dari BPN, Pemkab menutup ruang dan waktu untuk mediasi.

“Kita ingin menyelesaikan secara damai, musyawarah dan mufakat. Atas persoalan inilah, kita minta perlindungan hukum ke Polda. Biar Polda nanti menyelesaikan masalah ini berdasarkan musyawarah mufakat. Kalau tetap tidak terselesaikan, maka desa adat akan tetap melaksanakan sesuai hukum yg berlaku,” pungkasnya. (ina/kb)

Back to top button

Berita ini dilindungi