DENPASAR, Kilasbali.com – Epilepsi merupakan gangguan gerak abnormal yang tidak disadari, terjadi berulang dan menetap hingga mengakibatkan gangguan pada kehidupan sosial seseorang. Pada anak yang lebih kecil, epilepsi bisa mengganggu proses sosialisasi masa anak-anak, membuat mereka selalu memerlukan pendampingan orang dewasa, sehingga membuat rasa malu pada anak penyandang epilepsi. Bangkitan epilepsi muncul akibat adanya lonjakan aktifitas listrik pada fokus epilepsi di otak.
Fokus epilepsi ini terjadi akibat cedera langsung pada permukaan otak seperti, cedera kepala, tumor, stroke, maupaun bekas infeksi. Bangkitan epilepsi dapat merusak sel-sel saraf lain yang ada di otak, diperkirakan terdapat 50 sel saraf yang mati pada setiap bangkitan sehingga beresiko menurunkan fungsi kognisi pada pasien, terutama bila epilepsi tidak terkontrol dengan pengobatan standar.
Serangan epilepsi menurut ILAE 2017, dibagi menjadi bangkitan parsial (mempengaruhi sebagain tubuh saja), bangkitan umum (mempengaruhi seluruh tubuh), atau bangkitan yang tidak diketahui (tidak termasuk 2 bangkitan sebelumnya). Pada bangkitan umum, gerakan abnormal berupa kelojotan di seluruh tubuh, tapi ada kondisi dimana tidak muncul kelojotan sama sekali yang dikenal sebagai bangkitan lena/ absans.
Bangkitan lena sering tidak disadari karena pasien sering terlihat seperti orang yang sedang melamum, tetapi tidak mengingat kejadian saat bangkitan tersebut muncul. Terkadang pasien bisa mendadak berhenti dari aktifitasnya, lalu mematung dan tidak dapat diajak berkomunikasi.
Untuk memudahkan mengenali bentuk bangkitan, diperlukan observasi langsung saat bengkitan itu terjadi, atau melalui rekaman saat bangkitan muncul, dengan begitu pencetus bangkitan pun dapat dikenali dengan segera. Epilepsi ditegakkan bila terdapat dua bangkitan yang muncul dalam rentang waktu lebih dari 24 jam.
Obat epilepsi diminum harus sesuai dengan jadwal pemberiannya, untuk mempertahankan kadar obat yang konsisten di dalam darah. Pengobatan dimulai dengan satu jenis Obat Anti epilepsi (OAE) dosis rendah, dan secara bertahap ditingkatkan jenis dan dosis terapinya hingga epilepsi dapat dikontrol.
Target pengobatan epilepsi adalah bebas kejang selama 2 tahun, setelah itu dosis obat dapat diturunkan perlahan hingga berhenti sepenuhnya. Terdapat kondisi dimana epilepsi tidak terkontrol dengan regimen obat standar yang sudah maksimal meskipun penggunaannya sudah benar, kondisi ini dikenal sebagai epilepsi Kebal Obat (EKO).
EKO merupakan suatu kondisi perburukan dari epilepsi. Menurut Prof dr. Zainal Muttaqin Sp.BS PhD, obat anti epilepsi hanya mengobati 70% kasus epilepsi, sedangkan sisanya menjadi EKO. Kondisi EKO sering ditemukan pada pasien dengan fokus epilepsi di lobus temporal.
Kondisi tersebut mengakibatkan muncul fokus epilepsi baru di sisi berseberangan dengan fokus sebelumnya, sehinga semakin banyak fokus yang tidak bisa dikontrol. Oleh karena itu, perlu suatu upaya untuk mengurangi fokus epilepsi tersebut. Pada titik inilah, tehnik operasi memiliki tempat pada tatalaksana epilepsi. Prosedur bedah memberikan hasil hingga 70-80% bagi penyandang EKO untuk mencapai target bebas kejang. Operasi dilakukan dengan mengangkat bagian otak yang dianggap sebagai penyebab epilepsi.
Sementara ini tehnik operasi diperuntukkan untuk epilepsi dengan fokus pada lobus temporal otak, karena operasi dilakukan dengan mengangkat hippocampus pada sisi yang diduga menjadi fokus epilepsi. Tindakan memberikan hasil yang paling baik, dengan efek samping yang minimal.
Prosedur operasi, tidak serta merta menghentikan epilepsi, tujuan utama tehnik ini adalah mengurangi jumlah bangkitan atau membuat bangkitan tersebut tidak mengganggu ( lebih halus). Setelah tindakan operasi, obat anti epilepsi tetap dilanjutkan sesuai pengobatan standar.
Respon obat anti epilepsi pasca operasi akan meningkat, terlihat dari penggunaan dosis obat yang lebih rendah jika dibandingkan dengan dosis sebelumnya. Meskipun tidak menghilangkan bangkitan sepenuhnya, tindakan operasi memberikan fungsi sosial yang lebih baik bagi pasien. Gangguan akibat bangkitan epilepsi akan berkurang, dan pasien bisa menjadi lebih mandiri dibanding sebelumnya.
Pengawasan dalam pengobatan epilepsi adalah hal yang penting demi mencapi target terapi. Pada kondisi pandemi, banyak stigma negatif muncul mengenai resiko berkunjung ke fasilitas kesehatan. Stigma ini bisa membuat, turunnya kunjungan rutin pasien epilepsi ke fasillitas kesehatan.
Terlebih lagi, jika stigma ini membuat kondisi stress pada pasien akan membuat provokasi pada kondisi epilepsi sesorang. Penerapan protokol ksehatan adalah hal yang mutlak bagi semua orang di masa ini, karena setiap orang memiliki resiko kesehatan yang berbeda. Pengobatan epilepsi tidak akan mengganggu imunitas diri, selama penggunaanya tetap di awasi.
Metode operasi di masa pandemi, tetap dilakuakn secara aman dan steril sehingga bisa memaksimalkan kesembuhan pasien. Kita perlu menjaga pikiran positif dengan tetap melaksankan aktifitas sehari-hari dan mencari informasi yang dapat dipercaya. Hingga akhirnya semua orang dapat hidup bahagia meski memiliki epilepsi.
Oleh : dr. I Komang Reno Sutama