DENPASAR, Kilasbali.com – Minuman fermentasi atau destilasi khas Bali merupakan salah satu sumber daya keragaman budaya Bali yang perlu dilindungi, dipelihara, dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai sumber daya ekonomi berkelanjutan yang berbasis budaya sesuai dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Disamping itu, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan perajin minuman fermentasi tersebut, maka perlu dibangun dan dikembangkan kemitraan usaha yang saling menguntungkan sesuai dengan prinsip kegotongroyongan.
Demikian antara lain diungkapkan Direktur Keuangan Perusda Bali, IB Purnamabawa di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) terkait Ranpergub tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali bertempat di Ruang Rapat Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Bali, Jumat (13/12/2019).
“Untuk memberikan kepastian dan landasan hukum terhadap pelaku usaha dalam melaksanakan tata kelola minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali perlu dituangkan dalam Peraturan Gubernur Bali,” ujar Purnamabawa.
Disamping tata kelola, kata dia, juga perlu dipersiapkan tata niaganya sehingga Distributor dan Tempat Penjualan Eceran (TPE) bisa berkontribusi untuk memasarkannya disamping minuman alkohol lain. “Arak Bali adalah kearifan lokal dan juga industri lokal yang perlu dilindungi serta digencarkan pemasarannya secara maksimal oleh pihak Distributor dan TPE sebagai produk yang wajib dipasarkan sebagai Implementasi Peraturan Gubernur 99 tahun 2018 Tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali,” ujar Purnamabawa.
Diharapkan dengan terbitnya Peraturan Gubernur Bali tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali taraf hidup Petani (Arak Bali – red) meningkat dan lebih sejahtera.
Pada kesempatan tersebut Direktur Narkoba Polda Bali, Kombes Ida Bagus Komang Ardika sangat setuju adanya Peraturan Gubernur Bali yang mengatur tata kelola maupun tata niaga Arak Bali. “Polda Bali siap mendukung dan mengamankan kebijakan Gubernur Bali terkait pelaksanaan tata kelola arak Bali,” tegas Ardika sembari mengingatkan agar masyarakat dan aparat tetap waspada dan hati-hati menyikapinya mengingat banyak terjadi kasus kriminal dipicu oleh penyalahgunaan minuman keras semacam arak Bali ini.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Kepala Bidang Kepabeanan Kantor Wilayah Bea Cukai, Made Wijaya dan Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan, Sutikno. Bea Cukai mendorong pabrik Mikol, Distributor dan TPE lebih gencar memasarkan arak Bali sebagai ciri khas yang wajib dipasarkan.
“Regulasi tentang mikol sangat konvensional namun ketat sekali”, ujar Wijaya seraya menambahkan di setiap pabrik yg resmi / berizin ada petugas bea cukai yang mengawasi setiap tahapan proses produksinya, termasuk pergerakan per liternya. Semua diatur dengan ketat dan ada regulasinya.
Disamping itu, Bea Cukai selalu melaksanakan monev, audit dan lain-lain terkait pengawasan industri arak, khususnya terkait perhitungan cukainya. Namun demikian, Bea Cukai siap mendukung Ranpergub ini dengan antara lain akan membuat regulasinya.
Menurut Wijaya, saat ini ada sekitar 80 distributor/pabrik Arak Bali yang sudah mempunyai izin operasional/merk/label. Namun demikian, hanya ada 6 merk yang benar-benar menguasai pasar, sedangkan sisanya tidak terlalu produktif.
Kepala Bidang Industri Disdagperin Provinsi Bali, I Gede Wayan Suamba, SE. menyampaikan bahwa pada tingkat produksi sudah tidak ada masalah. Persoalannya ada pada distribusi atau pemasarannya. Petani / Perajin tuak dan arak sudah membentuk koperasi. “Koperasi inilah yang akan menampung seluruh hasil produksi tuak atau arak petani untuk selanjutnya akan didistribusikan ke pabrik yang sudah mempunyai izin atau label”, ujar Suamba seraya mengingatkan diluar tata kelola seperti itu adalah ilegal dan bisa tersangkut masalah hukum.
I Nengah Pasek, pemilik pabrik Arak Bali merk Nikki Zake siap mendukung tata kelola Arak Bali. Sejak tahun 2006, Niki Zake telah menerima hasil produksi petani. “Kalau tuak saya siap menerima dalam jumlah berapa pun, sebanyak-banyaknya dan tidak terbatas” pungkasnya.
Menurut Pasek, kalau tuak tinggal diproses di pabrik sesuai standar yang diinginkan. Sedangkan arak dari petani harus diproses lagi di pabrik karena tidak sama kualitasnya. Hal ini antara lain disebabkan alat dan teknologi yang digunakan oleh petani berbeda. Karenanya Pasek menawarkan memberikan peralatan kepada petani sehingga kualitas arak yang dihasilkan sama dan bisa dijual sesuai standar yang diinginkan oleh pasar.
FGD juga dihadiri oleh Direktur Kriminal Khusus Direktorat Narkoba Polda Bali, OPD Provinsi Bali yang terkait, Bea Cukai Wilayah Bali, NTB, NTT, IFBEC, Balabec, Produsen Arak, dan Distributor Minuman Beralkohol. (rls/kb)