DENPASAR, Kilasbali.com – Hajatan Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2019, baru saja berakhir, dan ditutup di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya, Jumat (8/11/2019) lalu. Nah, bagi pegiat seni modern, seni inovasi dan kontemporer di Bali terasa istimewa di penghujung even tersebut. Pasalnya, ada tujuh sosok pegiat seni Bali modern dengan dedikasi di bidang seni modern dinilai secara konsisten berkarya, berhak atas penghargaan bergengsi berupa Bali Jani Nugraha 2019.
Mereka adalah Ida Bagus Anom Ranuara (pegiat teater), I Made Adnyana ‘Ole’ (sastra), I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (sastra), I Made Adnyana (kritik film/musik), I Putu Wirata Dwikora( kritik senirupa), Ida Ayu Oka Rusmini (sastra), dan I Kadek Suartaya (kritik seni pertunjukan). Ketujuh pegiat seni modern ini layak menerima penghargaan karena kiprahnya secara konsisten berkarya memajukan ekosistem seni khususnya modern dan kontemporer di Bali.
“Ketujuh penerima Bali Jani Nugraha merupakan sosok berdedikasi pada bidangnya masing-masing dalam membangun pemajuan seni modern atau kontemporer di Bali. Mereka juga membangun ruang-ruang pembelajaran, aktivitas, dan juga ekosistem seni,” kata Kadisbud Propinsi Bali Prof. Dr. I Wayan Kun Adnyana, Minggu (10/11/2019).
Kadis Kun Adnyana menjelaskan, bahwa dalam rangka penguatan dan pemajuan kebudayaan Bali, sesuai Visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, Pemerintah Provinsi Bali perlu memberikan Penghargaan Bali Jani Nugraha kepada Pengabdi Seni Modern, Inovatif, atau Kontemporer atas pengabdian kerja kreatif serta kontribusi dalam bidang pengembangan Seni Modern, Inovatif atau Kontemporer.
Dari hasil seleksi Tim Kurator Festival Seni Bali Jani Tahun 2019, Nomor 431/10294/DISBUD tanggal 31 Oktober 2019 telah menetapkan Nama – nama Penerima Penghargaan Bali Jani Nugraha (Pengabdi Seni Modern, Inovatif atau Kontemporer) . ” Sekali lagi , ini bagian deri proses untuk menumbuhkan kegairahan teman teman seni modern di Bali untuk berkarya karena pemerintah telah memberi ruang secara terbuka bagi tumbuhnya insan kreatif seni kontemporer di Bali, terlebih menyongsong mimpi menjadikan Bali sebagai pusat seni kontemporer dunia,” tegas Ksdisbud asal Bangli itu.
Sementara itu Made Adnyana selaku pegiat kritik film dan musik di Bali mengaku bahagia dan mengapresiasi atas perhatian pemerintah propinsi Bali. “Yang pertama, ini terobosan baru dari Pemprov Bali melalui Disbud. Karena selama ini apresiasi dan bentuk perhatian cenderung hanya untuk seni budaya tradisional, nyaris tidak menyentuh seni modern dan perkembangannya,” ucap Made Adnyana.
Lanjut dia, maka ketika pelaku di bidang seni modern – termasuk mereka yang berada di balik layar – diberi wadah, kesempatan, apresiasi, ini sangat baik. Setidaknya untuk mengurangi ‘jarak’ yang timbul karena dikotomi kesenian tradisional dan modern. “Ketika keduanya mendapat perhatian dan kesempatan yang sama, di sanalah akan muncul pemahaman baik di kalangan pelaku seni maupun publik, seni budaya itu memang beragam, tapi tak terhalang oleh sekat-sekat egosentris, malah bisa berbaur, berkolaborasi,” tegasnya.
Adnyana menambahkan, secara pribadi tidak menyangka dan jujur, benar-benar _surprise_ bahwa apa yang saya lakukan selama ini dengan mengamati, dan mencoba memberikan wadah baik terhadap musik baik musik Bali maupun non Bali, yang mana saya lakukan karena kesukaan, kecintaan saya terhadap seni musik pun film, ternyata ada yang memperhitungkan. “Lebih dari 20 tahun berada di jalur ini, baru kali ini ada yang memberikan apresiasi secara nyata, dan itu memacu saya untuk bisa berbuat lebih baik lagi. Termasuk tanggung jawab untuk menghasilkan karya dalam bentuk buku, yang mudah-mudahan bisa selekasnya terwujud,” tandasnya.
Hal senada disampaikan pegiat sastra I Made Adnyana Ole, dimana penghargaan Bali Jani Nugraha adalah bentuk perhatian pemerintah kepada seniman yang bergiat di bidang seni modern di Bali. Dalam berkarya, seniman modern memang bukan melulu untuk mencari perhatian. Namun sebuah perhatian bisa diartikan secara lebih luas, misalnya memberi semacam nilai dalam bentuk lain pada proses kreatif seorang seniman, atau memberi semacam bobot lain untuk karya-karya seniman yang secara estetika sudah dianggap bermutu.
“Dalam berkarya, tujuan seorang seniman bukan melulu untuk mendapat hadiah atau penghargaan, melainkan untuk menciptakan karya bermutu. Sehingga penghargaan ini bukanlah tujuan, apalagi tujuan terakhir bagi proses berkarya seorang seniman. Penghargaan ini justru menjadi satu hal lain yang bisa saja membantu seorang seniman dalam memuluskan jalan untuk mencapai tujuan yang hakiki dalam proses berkarya,” pungkas Ole pengelola Komunitas Mahima dan Tatkala.com ini.
Putu Wirata Dwikora, menyampaikan dalam beberapa kesempatan minimnya kritik seni di Bali, mendorong semua elemen baik akademisi , pemerintah , budayawan bersinergi membuka ruang lebih bagi kritikus. Putu Wirata Dwikora menyebutkan gaya mengkritik para kritikus seni itu berbeda-beda, ada yang memang murni melihat dari sisi kekurangannya, namun tidak sedikit kritik seni yang memuji-muji.
“Sebenarnya jangan takut konfrontasi di awal karena itu untuk perbaikan seni juga. Memang sekarang penulis kritik seni itu berkurang, karena mungkin penghargaannya yang tidak ada,” ucap pria yang mantan jurnalis Tempo itu.
Kritik seni, lanjut dia, bisa diberikan kepada seniman perseorangan ataupun komunitas. Di satu sisi ada seniman yang ketika dikritik langsung “down”, tetapi ada juga yang menjadikan kritik untuk berproses yang lebih baik. (rls/kb)
Berita terkait
https://www.kilasbali.com/penutupan-fsbj-2019-gubernur-koster-2020-dilaksanakan-bertingkat-dari-kabupaten-kota/