DENPASAR, Kilasbali.com – Manajemen Seni menjadi salah satu tema workshop (aguron-guron) dalam ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2019 sebagai unsur penting dalam mengelola kesenian. Dalam workshop tentang manajemen seni yang menghadirkan arsitek kenamaan Bali, Nyoman Popo Priyatna Danes (Popo Danes) serta koordinator repatrasi arsip Bali 1928, Made Marlowe Bandem di Ruang Cinema Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu (27/10/2019), terungkap bahwa menajemen seni perlu memperhatikan networking dan komitmen disiplin waktu.
Popo Danes mengatakan, sebetulnya image Bali mendominasi cukup besar dan positif di dunia internasional.
Dalam membangun networking juga tidak terlepas dari image manusia Bali sendiri, yang mudah berinteraksi dan terbuka menerima pendapat orang luar. “Dunia seni dan kreatif sangat butuh publikasi, dan lebih dari itu, publikasinya tidak sekedar informasi yang subyektif. Orang perlu mencari obyektifitas di sana, sehingga human to human relation (networking, red) sangat penting,” ujarnya.
Namun networking yang dibangun menurutnya jangan sebatas jangka pendek, melainkan komitmen jangka panjang dengan setiap partner baik yang ada di Bali, Indonesia, maupun luar negeri. Komitmen jangka panjang ini juga sekaligus menjadi ‘pemacu’ untuk terus berkembang terhadap karya yang digeluti. “Jadi orang-orang utamanya partner akan melihat, orang ini bikin progress nggak? Kalau masih sama seperti lima tahun lalu, orang nggak akan tertarik lagi, karena di dunia kita ini (seni dan kreatif), pemain-pemain baru terus muncul. Sehingga harus sadar tidak boleh merasa hebat. Tidak ada hubungan jangka pendek dengan seseorang,” ungkapnya.
Meski demikian, networking jangan dianggap sebagai situasi persaingan. Networking bertujuan untuk memperkaya karya dan memperkaya keberagaman. “Dalam dunia seni dan kreatif ini juga selalu dibutuhkan identitas-identitas. Di sinilah letak bagaimana kita bisa mengibarkan kemerdekaan masing-masing. Saya tidak bersaing dengan orang lain, karena genre kami berbeda,” katanya.
Sementara narasumber Made Marlowe Bandem mengatakan, menajemen seni tidak sekedar berkarya, namun di dalamnya terkadung komitmen untuk disiplin waktu. “Yang kita ingat dalam manajemen seni adalah bagaimana menghadirkan sebuah karya di hadapan penonton. Kita sering lupa untuk memperhatikan hal-hal dasar seperti ketepatan waktu. Tepat waktu adalah image bahwa kita berkomitmen merencanakan sebuah acara,” ucapnya.
Berbicara manajemen dan seni, tentu harus diperhatikan mulai dari perencanaan, pengaturan, mendorong kepemimpinan sekaligus juga upaya melakukan kontrol dan evaluasi terhadap bagaimana menghadirkan seni itu ke hadapan publik. Di Bali setiap tahun ada sejumlah festival yang dilakukan oleh pemerintah maupu swasta, dan makin hari memperkaya khasanah seni Bali di masa kini. “Kalau seninya sendiri mungkin tidak meskti dibatasi karena merupakan sebuah ruang ekspresi. Tapi bagaimana akan ditampilkan ini yang menjadi tantangan kita di Bali. Apakah untuk konteks kepentingan idealismenya atau untuk memuaskan kebutuhan pasar, keduanya tetap memerlukan menajerial yang harus dilakukan,” katanya.
Pada kesempatan tersebut, dia juga banyak berbicara tentang repatriasi atau pemulangan dokumen-dokumen sejarah milik Bali dari luar negeri. Sebagai koordinator Bali Arsip 1928, Marlowe menuturkan sejak tahun 2013 telah melakukan pemulangan berbagai dokumen termasuk film, foto, dan rekaman audio yang memang bersumber pada rekaman pertama kalinya di Bali yang bersifat komersial, yakni pada tahun 1928-1929. Ada juga cuplikan- cuplikan film yang tak hanya berkisah tentang panorama alam Bali di masa tahun 1930-an, namun juga mengungkap tokoh-tokoh dan sekaa-sekaa legendaris Bali termasuk Ida Boda, I Marya, I Sampih, I Gede Manik, Gong Jineng Dalem, Ida Pedanda Made Sidemen, I Gusti Ketut Kandel, I Made Sarin, Ni Nyoman Polok & Ni Luh Ciblun (Légong Kelandis), Gamelan Palégongan Kapal, Ni Gusti Made Rai & Ni Gusti Putu Adi (Légong Belaluan), I Wayan Lotring (Gamelan Gendér Wayang Kuta), dan lain-lain.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana SSn MSn, tema manajemen seni menjadi salah satu yang penting untuk mengelola kesenian termasuk mengorganisasi suatu event. Selain manajemen seni, ada tiga workshop lainnya yang akan dilaksanakan, masing-masing bertema kritik seni, penulisan puisi, dan tata rias karakter.
“Kebutuhan strategis mengapa tema-tema ini yang diangkat adalah bagaimana peserta workshop di samping memahami, juga mampu melakukan. Setidaknya dalam 2-3 jam itu para peserta diberikan pengetahuan dan tips-tips yang kira-kira memungkinan bisa diterapkan oleh masing-masing peserta ketika menemukan permasalahan terkait empat tema tersebut,” terangnya. (jus/kb)