DENPASAR, Kilasbali.com – Jelang Hari Kebangkitan Teknoligi Nasional (Hateknas) ke 24, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengelar Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dengan tema “Menuju Pembenahan Kebijakan untuk Penguatan Ekosistem Inovasi dan Daya Saing Daerah”.
FGD yang sempat molor kurang lebih selama satu jam ini, bertujuan untuk sharing ide dan pengalaman dari pemangku kepentingan di daerah sebagai upaya menghimpun substansi materi muatan untuk merumuskan harmonisasi dan sinkronasi kebijakan daerah, berlangsung di Hotel Aston Denpasar, Sabtu (24/8/2019).
Hadir selaku keynote speaker adalah Dirjen Penguatan Inovasi Dr. Jumain Appe dan Kepala BPP Kemendagri Drs. Dodi Riyadmadji, MM.
Panel diskusi terfokus ini juga menampilkan tiga narasumber, yakni: Prof. Martani Huseini dari UI membahas materi “Landasan Ilmiah Pilar dan Indikator Daya Saing Daerah sebagai Alat Intervensi Kebijakan Pembangunan di Daerah”.
Direktur Sistem Inovasi Dr. Ir. Ophirtus Sumule mengurai “Pentingnya Kelembagaan Inovasi Daerah untuk Memperkuat Ekosistem Inovasi di Daerah, dan Kepala Bagian Perencanaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri Mohammad Noval mengulas berbagai perspektif berkenaan dengan “Pembenahan Kebijakan Inovasi dan Daya Saing Daerah”.
Dirjen Penguatan Inovasi Jumain Appe menjelaskan bahwa hingga saat ini masih terdapat kesenjangan daya saing daerah yang cukup besar antar provinsi dan antar kabupaten/kota, namun kita belum memiliki instrumen yang disepakati sebagai alat ukur (tools) dalam memetakan tingkat kesenjangan daya saing masing-masing daerah.
Untuk itu, Kemenristekdikti bersama Kemendagri mencoba menginisiasi penyusunan suatu model pengukuran Indeks Daya Saing Daerah (IDSD) yang holistik dan memenuhi prinsip-prinsip dasar penentuan indeks. Instrumen IDSD ini telah diuji terap di 25 provinsi dan 158 kab/kota.
“Saat ini IDSD dalam proses finalisasi dan selanjutnya akan dirumuskan kebijakannya sehingga dapat diluncurkan untuk diaplikasikan oleh pemangku kepentingan di daerah,” jelas Jumain.
Prof. Martani Huseini menerangkan bahwa Model Pengukuran IDSD terdiri dari 4 Aspek yaitu (1) Lingkungan Pendukung (Enabling Environment), (2) Pasar (Market), (3) Sumber Daya Manusia (Human Capital) dan (4) Ekosistem Inovasi (Innovation Ecosystem), yang tersusun dari 12 Dimensi dan 78 indikator. Model IDSD sendiri mengadopsi gabungan model Global Innovation Index – WEF, Global Innovation Index (GII) dan beberapa dimensi dan indikator disesuaikan dengan ketersediaan data di daerah.
“Hasil pemetaan IDSD akan menggambarkan level kekuatan dan kelemahan daya saing suatu daerah sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam menyusun program dan pembangunan daerah,” pungkas Martani.
Direktur Sistem Inovasi Ophirtus Sumule menerangkan pentingnya kelembagaan inovasi daerah (BPPD/BRID) sebagai mitra kerja perguruan tinggi, badan usaha, masyarakat dan lembaga penunjang inovasi (sentra kekayaan intelektual, lembaga intermediasi teknologi, organisasi profesi, dan inkubator teknologi) dalam memperkuat ekosistem inovasi di daerah.
UU No 11 tahun 2019 tentang Sinas Iptek mewajibkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan, memanfaatkan dan menggunakan hasil inovasi nasional serta kewajiban Pemerintah memberi insentif kepada Badan Usaha dalam bentuk jaminan pembelian produk inovasi tertentu dan/atau jaminan pencantuman produk inovasi dalam katalog elektronik pengadaan barang/jasa pemerintah.
“Sejalan dengan semangat otonomi daerah, peran kepemimpinan yang inovatif diperlukan untuk membangun ekosistem yang kondusif dan terintegrasi agar inovasi dapat berkembang dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan di daerah. Dari pemimpin yang inovatif akan lahir kebijakan yang inovatif pula sebagai syarat terbangunnya kolaborasi dan sinergi antaraktor inovasi yaitu pemerintah, akademisi, pelaku bisnis, dan komunitas serta komponen bangsa lainnya,” ungkap Mohammad Noval. (rls/kb)