DENPASAR, Kilasbali.com– Raganya memang sudah tak energik seperti saat ia muda dulu. Rambutnya pun tampak sudah uban. Namun semangatnya masih terlihat jelas. Suaranya masih lantang menceritakan awal mula menekuni senirupa. Mungkin itu sedikit gambaran tentang Ipong Purnama Sidhi, pensiunan jurnalis Kompas yang kini sibuk berkecimpung di dunia senirupa sembari menikmati masa pensiun.
“Saya studi di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia di Jogja (STRI Asri) yang kini menjadi ISI. Itu tahun 1975 dan saya selesai tahun 1981. Dalam masa itu, saya sering pameran di seluruh Indonesai,” tutur pria kelahiran Yogyakarta 1955 ini, di Grya Santrian, Jumat (11/1/2019).
Pria yang akrab disapa Ipong ini pun menceritakan bagaimana cara menjalankan hobinya di tengah kesibukannya sebagai seorang jurnalis. “Harus pintar mengatur waktu. Saat waktu luang itu kita gunakan untuk melukis. Kalau siang di kantor, malam di kantor, ya weekend kita lakukan melukis,” tutur Ipong yang didampingi isterinya.
Ipong pun mengaku sempat vacuum lama di dunia senirupa. Ia kembali menekuni hobinya itu kembali, sekitar 10 tahun menjelang memasuki masa pensiun. “Sekitar tahun 2006, kembali saya melukis lagi, dan banyak ada undangan untuk mengikuti pameran di luar maupun di dalam negeri,” sebutnya.
Dirinya pun menyadari, suatu saat nanti tepatnya saat masa pensiun, jangan sampai hanya berhenti begitu saja dari dunia jurnalis. Sehingga dirinya terus mengisi waktu luang untuk berkarya, mengikuti pameran, jadi juri, curator serta kegiatan lain yang berhubungan dengan dunia seni. “Saya pernah menjadi juri film Moris tahun 1996. Hehehe…. Sudah lama sekali. Terus ini ada Trienal Seni Grafis Ke VI di Bentara Budaya Jakarta, saya juga jadi juri,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Ipong juga berpesan kepada para jurnalis yang merupakan sebuah pilihan untuk mewartakan suatu realitas kepada publik agar selalu berpedoman untuk kejujuran, tidak memihak siapapun demi kepentingan masyarakat. “Wartawan itu harus menulis buku. Monumen seorang wartawan itu menulis buku. Jadi semakin banyak menulis buku, itu semakin hebat,” paparnya.
Untuk mengawali dalam menulis buku sendiri, kata Ipong dengan membuat novel atau wawancara yang menarik dengan orang-orang khusus dikumpulkan dalam sebuah buku. “Sekarang yang ngetrend itu, wartawan menulis novel,” ungkapnya.
Dikutip dari bebeapa sumber, karya Ipong sendiri memilih bahasa visual ekspresionistik dan memiliki warna provokatif serta ditandai garis-garis agresif cipratan banyak di sisi kanvas dalam karyanya.
Sepanjang kariernya, karya-karya Ipong banyak menampilkan figur yang mengingatkan pada sosok badut. Kostum makhluk-makhluk ciptaannya tidak lumrah dan penuh warna. Senyuman khas badut selalu ditemukan di setiap wajah figur-figur lukisannya, lengkap dengan warna merah terangnya.
Karyanya tidak saja mengajak untuk tertawa bagi para penikmat seni, tetapi juga menertawakan diri. Ipong berhasil mengekstrimkan kekonyolan badut-badut itu, kekonyolan yang tidak pernah disadari bahwa kita adalah kekonyolan tingkat tinggi. (jus/*KB).