DENPASAR, Kilasbali.com– Mega proyek Jawa Bali Crossing (JBT) yang masih kontrovesi di Bali, ternyata sudah memenuhi kajian secara akedemis, serta perijinannya pun sudah berjalan di daerah Jawa. Sedangkan di Bali program Jawa Bali Crossing tidak hanya sekedar melewati laut, tetapi juga sampai ke Tabanan di Desa Antosari. Selain itu, selama ini ditolak karena diperkirakan melintasi lahan diatas Pura Segara Rupek. Padahal menurut Anggota DPD RI yang membidangi Energi dan SDM Kadek Arimbawa proyek ini tidak melewati batasan kawasan suci. Karena itu, beberapa elemen masyarakat memberikan masukan agar PLN bertanggung jawab terhadap batasan kawasan suci tersebut mesti diberikan penjelasan.
“Batasan kawasan suci yang sering didengungkan oleh masyarakat itu kan batas suci itu sebatas mana yang dipergunakan? Karena memang kalau dilihat segi batasan yaitu ada batas nista, madya dan utama, ada nimpug dan peneleng dari segi teori kajian teknis dab dari kajian PLN. Namun bahwasanya yang paling memungkinkan di titik terdekat, yaitu dititik 300 meter dari Pura Segara Rupek. Itu kan jauh dari kawasan suci,” tandasnya Lolak saat dihubungi Selasa (5/2/2018).
Untuk itu, pihaknya menghimbau masyarakat Bali untuk tidak ikut-ikutan penolakan maupun penerimaan, tetapi berpikir untuk memberikan suatu kepercayaan kepada pemegang energi yaitu PLN, karena kajian akedemis sudah diperhitungkan. “Saya juga mengucapkan terimakasih kepada organisasi umat yang ada di Bali, khususnya yaitu PHDI Bali harusnya memberikan masukan dan juga memberikan win-win solution seperti apa,” sentilnya.
Karena diketahui sebelumnya, PHDI Bali memberikan masukan jika proyek tersebut dijalankan akan melanggar batas kesucian di Pura Segara Rupek. “Jangan sampai orang yang mempunyai keahlian pertanian dan ilmu agama yang berkomentar tentang energi dan mengomentari secara teknis. Seperti misalnya pembangunan jalan layang ditolak karena melanggar kesucian, tetapi pada akhirnya dibangun underpass dan semua merasakan bagaimana hebat dan manfaat dari underpass,” bebernya.
Tidak hanya itu saja, menurut Lolak mega proyek JBT sebagai program pemerintah yang sudah dicanangkan dan masuk kategori program strategis nasional Presiden RI Joko Widodo. “Bilamana itu program yang sudah menjadi strategi nasional secara legal sebagai program pemerintah pusat, maka daerah maupun kabupaten harus ikut menyukseskan program tersebut. Karena Jawa Bali Crossing merupakan solusi untuk mencegah kerawanan energi listrik, karena belum ada energi terbarukan yang tepat di Bali,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Beppeda Bali Ir Putu Astawa, mengaku untuk pembanguan mega proyek JBT harus memenuhi empat aspek, yaitu tidak boleh melanggar Undang-Undang, tidak boleh merusak lingkungan, bermanfaat bagi masyarakat Bali dan tidak boleh menganggu budaya. “Kalau nanti masyarakat Bali menolak maka akan menjadi repot nantinya. Harus disosialisasikan lebih dahulu, kalau memang untuk kepentingan masyarakat berupa listrik sangat penting. Tetapi kalau sudah terjadi resitansi perlu dipertimbangkan lagi, supaya pemerintah juga tidak salah dan terjadi benturan-benturan,” paparnya.
Astawa menambahkan, secara teknis kebutuhan listrik setiap tahun pasti meningkat, sehingga pihaknya menginkan Bali mempunyai energi listik yang mandiri. “Tetapi keinginan kita kan ingin mandiri energi listrik, apalagi daerah wisata banyak memerlukan listrik kedepannya. Tetapi jangan lupa dalam membangun mega proyek listrik tidak terlepas dari empat hal tadi,” harapnya.
“Untuk bisa menjembatani kedua belah pihak harus melakukan komunikasi, dan masalah penolakan juga harus dipaparkan sebab ini kan menyangkut masalah kesucian. Sebab dalam Perda tata ruang menganut masalah tempat kesucian. Jadi kita perlu berkomunikasi dengan para tokoh itu untuk mengkaji kembali dari aspek budaya. Karena kalau alternatif lain yang diwacanakan, apakah itu nantinya mampu menghasilkan energi yang setara dengan Jawa Bali Crossing? Kan harus bisa dikaji lagi,” tutupnya. (*KB).